Berbagai
momentum bagi gerakan perempuan pada tahun terakhir ini agaknya akan terus
mendukung terjadinya perkembangan peran politik perempuan di Indonesia. Sejak
disyahkannya, Paket UU Politik Tahun 2004, misalnya, ruang-ruang bagi perempuan
untuk bisa terlibat dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik terus makin
terbuka lebar. Selain, disetujuinya angka affirmative
sebesar 30% bagi perempuan di parlemen, secara serius kita bisa melihat, setiap
partai politik memiliki organ atau dvisi perempuan. Organ ini mulai tampak
sungguh-sungguh melakukan pemberdayaan politik perempuan. Para
perempuan aktivis partai saat ini, sungguh-sungguh serius memikirkan bagaimana
kaum perempuan melek politik. Meskipun upaya ini memang tidak mudah, karena
masih adanya gap platform cita-cita politik perempuan yang berakar pada
berbagai kelompok-kelompok sosial.Kaukus Politik Perempuan Indonesia (KPPI)
menunjukkan adanya gerakan bersama antar berbagai perempuan yang aktif di
partai politik apapun, untuk membangun gerakan bersama dalam upaya pemberdayaan
kaum perempuan.

Meski
sebagian masih juga ada yang menunjukkan lebih sebagai bentuk trend dan sebagai
instrument mendulang suara kaum perempuan. Tetapi kesadaran yang cukup tinggi
di kalangan perempuan saat ini, trik untuk mendulang suara hanya dengan membuka
divisi perempuan, tidaklah mudah untuk dipercaya begitu saja. Selain itu, sudah
saatnya, dalam membangun gerakan bagi kepentingan rakyat untuk meninggalkan saling-curiga
dan saling-tuding, siapa yang paling murni melakukan gerakan itu dan siapa yang
bertipu muslihat semata-mata. Model-model
seperti ini tidak akan memberikan arti apa-apa, kecuali hanya lagi-lagi justru
akan mengorbankan rakyat itu sendiri.

Pertengahan
2007, kebijakan Mahakamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan, membuka
kembali peluang bagi peran perempuan untuk terlibat dalam proses-proses politik
secara langsung. Sebelumnya ruang yang diwacanakan dan diperjuangkan, bagaimana
bisa masuk ke parlemen, terlibat langsung dalam perumusan berbagai keputusan
publik, kali ini ruang itu terbuka bagi perempuan untuk masuk dalam wilayah
pelaksana pemerintahan. Memang belum jelas kapan akan mulai efektif bisa
berjalan, Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007, harus dipandang
sebagai tantangan baru bagi perjuangan politik kaum perempuan di Indonesia. Sebagaimana
luas diketahui, keputusan ini, memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan,
karena tidak lagi harus terkendala oleh aturan main partai politik yang masih
sangat kental dengan nilai-nilai patriarkhi. Keputusan MK menyediakan peluang
individu untuk bisa mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah Tingkat Provinsi
maupun Kabupaten/Kota, tanpa harus dicalonkan oleh partai politik.

Berbasis
Massa

Untuk
bisa memanfaatkan peluang kemajuan politik perempuan ini, tidak ada pilihan
lain bagi gerakan perempuan untuk dengan tidak malu-malu mengubah dirinya
menjadi gerakan massa
dengan membangun akar-akar komunitas di masyarakat kebanyakan. Mengubah maind set, dari perang wacana, menuju
gerakan praxis ala Paulo Freire. Sebuah gerakan yang menyatukan wacana dengan
tindakan langsung, sehingga tidak saja akan mampu menggerakkan orang untuk
melakukan perubahan, tetapi juga mampu menumbuhkan kesadaran kritis, sehingga
mereka menggeser pendulum kesadaran dari magik dan naïf ke kesadaran kritis
atau struktural. Dengan kata lain, gerakan perempuan sudah saatnya mengubah gaya gerakannya dari NGO minded ke model organisasi berbasis massa.

Pilihan
organisasi berbasis massa
menjadi penting dan perlu dipertegas, karena salah satu kemungkinan persyaratan
untuk mencalonkan diri sebagai calon perseorangan sudah pastilah diperlukannya
sekian ribu dukungan nyata dari masyarakat. Gerakan politik perempuan tentu
saja tidak harus mengulangi gaya
pengumpulan dukungan hanya menggunakan mesin pengepul Kartu Tanda Penduduk
(KTP), sebagaimana bisa kita saksikan dalam berbagai praktek pencarian dukungan
politik selama ini. Gerakan politik
perempuan harus meninggalkan gaya mobilisasi massa rakyat, dan meneguhkan
sikap-sikap kesadaran massa rakyat untuk memberikan atau tidak memberikan
dukungannya.

Basis massa yang dikembangkan bisa jadi
masyarakat dengan kepentingan-kepentingan spesifik, seperti kelompok buruh,
petani dan pedagang. Bekerjasama dengan mereka untuk menggoalkan kepentingan
politik perempuan sangatlah strategis. Alasannya, mereka merupakan kelompok
solid dengan ikatan kepentingan yang spesifik, selain akan mempermudah dalam
proses perencanaan agenda-agenda pembangunan di kemudian hari.

Harus Disiapkan

Untuk melempangkan jalan gerakan politik
perempuan, saat ini, aktivis perempuan memang harus berpacu dengan waktu. Agar
gerakan perempuan mampu mempengaruhi rumusan akhir pemerintah berkaitan dengan
pelaksanaan Keputusan MK di atas, harus segera merumuskan pandangan-pandangan
konkretnya untuk diajukan sebagai konsep awal. Kertas posisi ini harus sudah
tersedia dan menjadi bagian pertimbangan dalam dalam pembahasan yang dilakukan
dengan melibatkan Pemerintah, Parlemen dan KPU. Ruang diskusi awal ini harus
dimanfaatkan sebagai momentum, sambil menunjukkan gagasan gerakan politik
perempuan dalam konsep yang jelas dan tidak semata-mata tindak reaksioner
terhadap keputusan-keputusan publik yang ada.

Agenda-agenda strategis yang bisa
didesakkan oleh kelompok perempuan, misalnya, pertama, pencalonan untuk bisa dipilih sebagai kepala daerah, tidak
harus dicalonkan atau diakui sebagai calon partai politik, melainkan dicalonkan
langsung oleh publik atau masyarakat luas. Dengan model ini, calon kepala
daerah, perempuan maupun laki-laki, akan bisa terbebas dari
kemungkinan-kemungkinan perjanjian-perjanjian kotor dengan partai politik,
manakala calon benar-benar terpilih dalam proses pemilihan kepala daerah
langsung. Kedua, kebijakan keterwakilan
terus ditingkatkan menjadi 50:50 untuk semua calon yang disyahkan oleh KPU.
Perhitungan yang dipakai, tidak harus semuanya perempuan sebagai calon kepala
daerah, tetapi sebagiannya mungkin berposisi sebagai wakil kepala daerah. Hal
ini penting sebagai bentuk kepedulian terhadap pemajuan politik perempuan, dan
menunjukkan gradasi positif dari Paket UU Politik 2004.

Tentu masih banyak agenda lain yang bisa
dikembangkan, sehingga kebijakan pemerintah dalam menindaklanjuti Keputusan MK
juga menunjukkan adanya kemajuan dalam gender
perspective-nya. Jika strategi-strategi seperti di atas tidak dikembangkan,
bisa jadi peluang besar yang dibuka oleh MK, secara sistematis ditutup dengan
begitu rapih oleh nalar-nalar patriarkhi kembali. Maka, sekali lagi, gerakan
perempuan akan menggigit jari, kalau tidak mungkin dikatakan jatuh pada titik
nadhir gerakan politik, stagnasi abadi, tanpa sebuah gerak ke kanan, ke kiri,
ke depan atau ke belakang. Tak pernah ada kemajuan, yang bisa dirasakan dan
diukur dalam tujuan-tujuan pembangunan apapun yang pernah dicanangkan orang.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *