Pitulasan

Jangan
merancang kegiatan apapun di desa pada bulan Agustus. Pasalnya, warga
pasti akan mengatakan, “kami sedang pitulasan.” Maksudnya tentu
saja, warga sedang sibuk melakukan berbagai kegiatan memperingati
Hari Kemerdekaan negeri ini, 17 Agustus. Warga cukup menyebutnya,
‘pitulasan’. Momentum bagi rakyat menunjukkan komitmennya terhadap
kesepakatan pendirian dan penggabungan diri terhadap negara Republik
Indonesia. Tidak perlu berbicara banyak, tidak penting proposal
kegiatan untuk menggalang dana. Warga bergerak dengan sendirinya,
cancut tali wondo, begitu
peribahasa Jawanya. “Terus berjuang untuk menang, jangan lupakan
persatuan dan kesatuan,” kata komentator pertandingan bulutangkis
memperingati pitulasan di dusun saya. Ini pertandingan paling seru,
babak final memperebutkan Juara I

Persoalannya
kemudian, seberapa besar para elit berkehendak mengimbangi semangat
warga desa yang tanpa pamrih ini? Bukan perkara mudah bagi para elit
kekuasaan, baik yang sedang memegang kekuasaan maupun yang sedang
berharap-harap cemas merebut kekuasaan. Kedua-duanya dituntut
membangun komitmen kepada rakyat yang sedang dipimpin atau yang kelak
akan dipimpin. Perjanjian politik dengan hati nurani untuk
sungguh-sungguh menghindari adagium ‘kekuasaan cenderung korup’.
Mematrikan semangat seperti yang dikobarkan Sri Sultan Hamengkubuwono
X beberapa tahun silam pada saat penobatannya, ‘tahta untuk rakyat.’

Agustus
2008 seumpama terminal ke-63 untuk melakukan refleksi secara jernih
dan jujur, tidak sekedar semangat yang dielukan dengan jargon-jargon
heroik di atas podium seremonial peringatan hari kemerdekaan.
Refleksi diharapkan bisa meahirkan tindakan-tindakan adil dalam
mengatasi berbagai persoalan bangsa yang belum dapat terselesaikan.
Hari ini harus menjadi momentum bagi para pemegang kekuasaan maupun
yang hendak merebut kekuasaan, untuk menengok dalam keheningan jiwa,
apa yang sudah dilakukan untuk rakyat, bergunakah atau bahkan
menimbulkan masalah?

Pangeling-eling

Dalam
perjalanan membangun kehidupan berbangsa, berbagai persoalan yang
bersifat laten dan insidental terus menerus muncul dan belum
tertangani secara sistematis dan memenuhi rasa keadilan. Problem
kehidupan beragama, misalnya, masih menjadi momok paling mengerikan
dan sewaktu-waktu bisa meledak umpama bom waktu yang akan
menghancurkan apa saja dan siapa saja. Penumbuhan kedewasaan beragama
belum sepenuhnya bisa berjalan sesuai dengan prinsip saling
menghargai. Konflik antar agama yang terjadi menurut mendiang Th
Sumartana berbasis pada kuatnya prasangka di antara agama-agama.
Tepo
sliro
masih menjadi basa-basi
dan belum mendarah-mendaging dalam rasa kehidupan beragama. Keyakinan
agama yang dianut adalah yang paling benar, bukan menjadi persoalan,
manakala tidak dibarengi dengan kehendak untuk menjadikan orang lain
harus mengikuti dan tunduk patuh terhadap keyakinan atas kebenaran
subyektif agama-agama.

Menghadapi
situasi ini tampaknya pemerintah belum menemukan rumusan tepat untuk
menyelesaikannya. Bahkan kita melihat, kecenderungan pembiaran untuk
menjaga kredibilitas dan kualitas kekuasaannya, karena tidak ingin
konflik terbuka antar agama terjadi dalam kurun waktu kekuasannya.
Jika sikap ini benar, sesungguhnya pemerintah sedang melakukan
terjadinya serangan-serangan terhadap hak-hak individu, dan bisa
dikategorisasikan dalam pelanggaran HAM dalam cakupan
by
ommision
.

Hak-hak
kelompok minoritas, seperti waria, perempuan pekerja seks dan
keragaman orientasi seksual masih belum mendapatkan perhatian secara
serius. Perlakuan-perlakuan stigmatik dan diskriminatif terhadap
kelompok minoritas tidak pernah ditangani secara sungguh-sungguh.
Pemerintah tidak melakukan pendidikan publik untuk menghapuskan
stigmatisasi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas
ini. Pembiaran situasi ini bukan tanpa masalah, pada saatnya akan
melahirkan ketegangan sosial yang bisa mengakibatkan kerusuhan sosial
berkepanjangan.

Perlindungan
terhadap hak-hak perempuan tampaknya belum bisa dilakukan secara
menyeluruh. Kita mengapresiasi munculnya berbagai kebijakan yang
menunjukkan kehendak baik terhadap pemajuan hak-hak perempuan.
Misalnya, ratifikasi
Convention on Elimination
Discrimination Agints Women
(CEDAW) dengan UU No. 7/1984, keterlibatan negara dalam
penandatanganan Deklarasi Beijing tahun 1995 dan penandatanganan
dokumentasi
International Conference on Population and
Development
(ICPD) tahun 1994,
dikeluarkannya Kepres No. 8/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, dan
diberlakukannya UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT), merupakan bukti kehendak baik ini.

Persoalannya
kemudian, perangkat-perangkat implementasinya masih belum bisa
efektif dikembangkan. Akibatnya masih sedikit kasus yang diselesaikan
dengan menggunakan perangkat hukum ini. Untuk perangkat hukum
internasional seperti CEDAW, belum dikembangkan mekanisme monitoring
secara nasional sehingga bisa menghadapkan negara ke Komisi CEDAW,
manakala melakukan dan atau membiarkan terjadinya diskriminasi
terhadap perempuan. Untuk memperkuat kerangka kerja ini, KOMNAS
Perempuan dan KOMNAS HAM sudah saatnya melakukan konsolidasi sehingga
CEDAW bisa menjadi operasional untuk menjerat pemerintah manakala
tidak melindungi perempuan dari berbagai tindak diskriminasi.

Penanggulangan
HIV dan AIDS belum dikembangkan secara komprehensif. Pendekatan yang
semata-mata bio-medis mengakibatkan penanggulangannya menjadi bias
jender. Kasus perdebatan mengenai penggunaan kondom perempuan untuk
pencegahan HIV dan AIDS merupakan bentuk nyata dari pendekatan ini.
Luas diketahui, keengganan menggunakan kondom dalam transaksi seks
berada di pihak laki-laki. Hanya saja, karena kontruksi seksual masih
berakar pada hak menikmati seks adalah laki-laki, perempuan kembali
dikorbankan.

Pendekatan
bio-medis, juga mengakibatkan gerakan penanggulangan HIV dan AIDS
menjadi a sosial. Mengandaikan penyebaran HIV dan AIDS tidak memiliki
relasi langsung dengan relasi kuasa dalam sistem sosial yang ada.
Sebagaimana dipahami bersama, dalam sistem sosial patriarkhi,
perempuan berada dalam posisi lemah dan selalu dinomorduakan. Situasi
semacam ini mengakibatkan perempuan tidak memiliki daya tawar untuk
memenuhi kepentingannya, bahkan untuk tubuh mereka sendiri.

Cara
pandang HIV dan AIDS sebagai fenomena medis belaka, menjadikan
ketidak-kritisan dalam melihat terjadinya proses penguasaan dari
negara-negara dengan prevalensi rendah terhadap negara-negara dengan
prevalensi HIV dan AIDS tinggi. Tanpa disadari, HIV dan AIDS menjadi
medium globalisasi, yang ditunggangi kepentingan-kepentingan
kapitalisme-global, untuk melakukan intervensi teknologi, ekonomi,
politik dan juga bagaimana sebuah budaya masyarakat harus
dikembangkan. Sebagai sebuah fakta globalisasi, pada akhirnhya isu
HIV dan AIDS dan tentu saja konstruksi seksualitas sebuah negara bisa
dibentuk negara lain.

Mungkin,
komentator bulutangkis di dusun saya, yang berteriak ‘tetap jaga
persatuan dan kesatuan,’ tidak harus berpikir serumit ini. Kita yang
selayaknya melakukan penerjemahan terhadap semangat nasionalisme yang
beradab dan berkeadilan. Kita yang semestinya melakukan pembuktian
semangat itu secara arif. Berikanlah apa yang rakyat inginkan, bukan
apa yang para penguasa dan orang-orang yang hendak merebut kekuasaan
butuhkan.Buatlah ‘pitulasan’ benar-benar bermakna bagi rakyat dan
memenuhi hak-hak mereka.[]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *