Dalam ranah kritik imanen, atau riil pengalaman dan kasus-kasus di sekitar remaja yang bisa masuk ke ranah hukum. Banyak sekali perilaku atau tindakan kriminal yang dilakukan orang lain yang membuat remaja menjadi korban. Akan tetapi, saya ingin memfokuskan pada konteks kasus yang lebih releven dengan perkembangan masa remaja, yakni kekerasan atau pelanggaran hak remaja berbasis gender dan seksualitas.
Pertama, kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Data yang dikeluarkan oleh Rifka Annisa tentang kasus konseling kasus KDP, menunjukkan tren meningkat di 4 tahun terakhir. Tahun 2008 tercatat 23 kasus, tahun 2009 ada 28 kasus dan tahun 2010 tercatat ada 43 kasus. Kasus yang muncul dalam ruang konseling ini harus dipandang sebagai “puncak gunung es, dimana kasus yang sebenarnya terjadi sangat mungkin lebih banyak.
Kedua, kasus perkawinan di usia remaja atau anak. Data Susenas dari Badan Pusat Statistik Propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan perempuan yang menikah usia di bawah 16 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 8,74% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan Kabupaten Sleman (9,12%). Data dari Kantor Pengadilan Agama Bantul juga menunjukkan permohonan dispensasi nikah di Bantul tahun 2008 mencapai 70 pasangan, tahun 2009 sebanyak 82 pasangan, tahun 2010 meningkat menjadi 115 pasangan, dan sampai bulan Oktober 2011 sudah melonjak menjadi 135 pasangan. Di Kabupaten Kulon Progo, data dari Kementrian Agama menunjukkan jumlah pasangan yang menikah karena hamil terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 angkanya 9,9 %, tahun 2007 meningkat menjadi 13,32%, tahun 2008 kembali turun menjadi 10,24 persen dan pada 2009 mengalami peningkatan tajam mencapai 13,45%.
Selain dua kasus di atas yang memang menjadi kepedulian saya selama ini, ada persoalan immanen hukum lain yang berkaitan dengan remaja, yakni kasus kriminal remaja yang bermasalah dengan hukum. Selagi mulai ada usaha negara untuk mengakomodasi anak dalam ranah sistem peradilan, dengan disayahkannya UU Sistem Peradilan Anak di bulan Juli 2012, remaja masih saja tertinggal tak terperhatikan. Lagi-lagi, remaja harus menerima bahwa dalam sistem peradilan mereka suatu waktu harus rela diperlakukan sebagai anak, dan sewaktu-waktu sebagai orang dewasa.