Agenda Advokasi Hak Remaja

Agenda Advokasi Hak Remaja

ADV Remaja

Dari dua aras kritik sebelumnya, maka minimal ada dua setting advokasi bagi remaja yang bisa didesain.

  • Pertama, advokasi untuk mendapatkan pengakuan dan kejelasan posisi.
  • Kedua advokasi untuk perlindungan remaja dari pelanggaran Hak, dari risiko-risiko buruk kehidupan,  kesehatan, kesakitan dan bahkan kematian.

Pada setting pertama, skema advokasi lebih pada ranah advokasi perubahan peraturan perundangan yang “tidak ramah” remaja. Hal dasar yang menjadi kunci persoalan adalah makna dan batasan umur tentang perkawinan. Norma pokok yang ingin diintervensikan ke dalam peratura perundangan adalah norma pendewasaan umur perkawinan. Norma ini akan membatasi perkawinan pada masa anak atau remaja awal. Selain memperjelas posisi kelompok umur remaja, penormaan ini akan mampu menghindarkan anak dan remaja, khususnya perempuan, dari risiko-risiko reproduksi dan seksual yang diakibatkan dari hubungan seksual yang dihalalkan oleh perkawinan di usia dini.

Pada setting kedua, skema advokasi immanen akan mengarah pada kebijakan dan layanan publik yang mampu melindungi hak-hak remaja untuk tetap sehat baik secara fisik, mental dan sosial. Bagaimana ada kebijakan publik yang mampu mengatur sistem perlindungan negara terhadap remaja untuk tidak menjadi korban kekerasan atau pemaksaan orang dewasa yang seringkali bersdasarkan asumsi-asumsi gender dan seksualitas.

Untuk menyebut beberapa, kebijakan publik yang telah muncul misalnya Kebijakan Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) oleh Kementrian Kesehatan yang menjadikan puskesmas sebagai tempat layanan yang ramah remaja. Program Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) yang dikeluarkan oleh BKKBN sebagai usaha untuk melindungi remaja dari risiko-risko seksual dan reproduksi. Tentu saja, program-program negara tersebut masih sangat perlu ditingkatkan mengingat dalam praktek lapangannya program tersebut masih merupakan tampilan luar tinimbang memberikan substansi layanan perlindungan bagi remaja.

Usaha di atas harus juga dibarengi dengan usaha dari kelompok sipil, khususnya Organisasi Sosial Keagamaan yang memiliki basis luas, seperti Muslimat NU, untuk bisa menyediakan layanan perlindungan remaja untuk terlindung dari kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Layanan ini bisa berawal dari pemberian informasi dan konseling seputar kesehatan reproduksi dan seksual yang dibarengi dengan pendidikan kecakapan hidup (life skill) bagi remaja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *