Awal Agustus 2024 lalu, publik Indonesia untuk kesekian kalinya mendengar kabar tentang praktik eksploitasi anak yang terjadi di dalam institusi pesantren di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lebih dari 40 santri putra yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru di salah sebuah pesantren di kabupaten tersebut. Sementara, memori publik tentu masih belum lupa dengan kasus teranyar September kemarin. Seorang santri di sebuah pesantren kawasan Megamendung, Bogor, mengalami tindak penganiayaan berupa penyiraman air panas dan pemukulan oleh salah seorang senior. Tak heran bila hasil riset UNICEF bersama Pusat Kajian dan Advokasi (PUSKAPA) Universitas Indonesia menemukan bila lebih dari separuh jumlah santri di Indonesia mengaku pernah mengalami tindakan kekerasan.
Maraknya berbagai kasus eksploitatif, baik berupa kekerasan seksual maupun penganiayaan, yang berlangsung di pesantren jelas kian meneguhkan citra buruk lembaga pendidikan yang selama ini kita gadang-gadang selaku benteng Indonesia itu. Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam yang eksklusif, pesantren dinilai belum mampu menjamin keamanan para santrinya. Di tengah geliat Kementerian Agama yang baru-baru ini bekerjasama dengan PBNU me-launching gagasan “Pesantren sebagai Pilar Masa Depan Bangsa”, serangkaian borok dan bobrok internal pesantren justru makin sering tersingkap ke hadapan publik. Gagasan besar yang diluncurkan di kampus mentereng sekelas Universitas Gadjah Mada tersebut tak dibarengi dengan kesadaran untuk ber-muhasabah akan praktik-praktik “di balik pintu” yang selama ini jarang terendus. Bukan salah publik bila kini mulai timbul keraguan atau bahkan rasa curiga terhadap kapasitas pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan. Betapa tidak, niatan orang tua untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada anak-anaknya justru berakhir dengan kisah miris praktik eksploitasi yang dialami oleh anak-anak mereka.
Menyikapi realita yang ada, mau tak mau, pesantren mesti membereskan “urusan dapurnya” terlebih dahulu. Segala bentuk tindakan eksploitatif yang berlangsung di pesantren, baik yang terdeteksi maupun yang terjadi secara sembunyi-sembunyi, semestinya diberantas hingga ke akar-akarnya. Sejatinya, sejak tahun 2022 lalu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, telah mengingatkan pentingnya transparansi dan transformasi pesantren dalam menyikapi berbagai permasalahan kekerasan, perundungan, serta eksploitasi yang terjadi selama ini. Menurut Waryono, hanya dengan berbekal komitmen nyata untuk bersikap transparan dan protektif itulah pesantren dapat terus mengemban amanah dan kepercayaan publik sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya generasi bangsa yang berkualitas di masa depan.
Selaras dengan peringatan Direktur PD Pontren tersebut, beberapa pesantren telah dengan sadar membuka diri. Mereka berkolaborasi dengan pihak eksternal untuk meningkatkan kapasitasnya dalam upaya perlindungan terhadap para santri dan warga pesantren lainnya. Sebagai contoh, Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan, mendeklarasikan dirinya sebagai “Pesantren Ramah Anak”. Tagline tersebut menunjukkan keberpihakan pesantren dan keseriusannya dalam mencegah berbagai tindakan eksploitatif. Berbekal fasilitasi oleh UNICEF, beberapa pengajar dari Pesantren Sultan Hasanuddin mendapatkan pelatihan intensif. Mereka diajak untuk mewujudkan pesantren sebagai rumah bersama yang aman dari segala bentuk bayang-bayang eksploitasi.
Pesantren Sultan Hasanuddin merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pesantren di Indonesia yang berani bersikap lebih terbuka. Keterbukaan pesantren untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak eksternal merupakan kunci utama untuk mewujudkan pesantren yang inklusif untuk semua. Publik pesantren perlu menyadari bahwa keterbukaan untuk berkolaborasi tidak lantas mengurangi independensi pesantren dalam mengurus urusan dapurnya. Sebaliknya, melalui kolaborasi dengan pihak eksternal, pesantren secara sadar telah mengambil partisipasi aktif dalam menyerap aspirasi publik untuk memperoleh solusi konkrit terhadap permasalahan yang selama ini terjadi. Tak ada lagi sekat pemisah antara pesantren dengan masyarakat yang kerap menjadikan pesantren teralienasi dari laju dinamika zaman. Bukankah kita semua menghendaki dinamisasi pesantren menjadi lebih baik?
Keberanian melempar otokritik dapat menjadi salah satu upaya bagi pesantren untuk mampu berubah sekaligus berbenah. Pesantren sebagai institusi pendidikan jelas tak hanya bertanggung jawab terhadap aktivitas transmisi keilmuan. Ada tugas lain yang tak kalah signifikan, yakni memperbaiki institusinya sendiri. Mungkin, program beasiswa non-gelar untuk para pengasuh/pimpinan pesantren yang tengah dilaksanakan oleh Kemenag saat ini merupakan bagian dari intervensi negara—dalam hal ini Kemenag—untuk mendorong aktivitas otokoreksi dan refleksi bagi para insan pesantren. Dengan melihat dan mengamati sistem manajemen institusi pendidikan keagamaan di luar Indonesia, para pengelola pesantren diharapkan dapat membawa “oleh-oleh konkret” berupa gebrakan baru bagi pesantren yang lebih baik. Publik jelas berharap akan terlahir transformasi-transformasi nyata, khususnya dalam menjamin keamanan warga pesantren. Namun, semua kembali kepada para pembesar pesantren itu. Toh, bukankah Alexander Dumas dalam The Count of Monte Cristo berpesan bila inti dari kehidupan hanyalah berpacu di antara hope dan wait? (khoirul).