Besok, seluruh dunia, secara bersama-sama akan memperingati Hari Aids Internasional, Senin, 1 Desember 2008. Sebagai sebuah seremonial, tentu saja tidak akan memiliki makna yang mendalam, kecuali hanya sekedar menunjukkan kepada publik, entah siapa pula itu publiknya, kita berkomitmen dan turut peduli terhadap persoalan penyebaran virus penyebab AIDS secara massif dan tak terkendali.

Sebuah peringatan hanya akan memiliki makna mendalamnya, manakala orang-orang yang terlibat di dalamnya mampu melakukan transformasi pengalaman menjadi sebuah teori baru untuk merancang agenda-agenda gerakan yang lebih strategis dan memiliki perspektif gender dan HAM sehingga bisa adil bagi semua. Peringatan juga akan bermakna, manakala ritus itu mampu memalingkan orang-orang yang selama ini ada di luar garis gerakan untuk bisa bergabung secara bersama-sama, atau setidak-tidaknya, menumbuhkan kesadaran baru, diri mereka juga sangat mungkin terinfeksi virus penyebab AIDS.

Lebih penting lagi, peringatan akan memiliki makna strategis manakala bisa mengingatkan dan sekaligus meyakinkan para pemimpin di negeri ini dan di negeri-negeri yang lain, mereka harus secara jujur melakukan refleksi tentang apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS, memandang tanpa beda terhadap mereka yang terinfeksi HIV, memberikan dukungan kepada keluarga-keluarga yang anggotanya terinfeksi AIDS.

Akan menjadi ironis dan paradoks sesungguh-sungguhnya, ketika peringatan Hari Aids Internasional, yang untuk lima tahun terakhir tetap memegangi tema kepemimpinan, tetapi kita tidak pernah hendak secara serius memahami dan melakukan perubahan-perubahan yang signifikan berkaitan dengan soal kepemimpinan. Sebagaimana sudah seharusnya dipahami, kepemimpinan, bukanlah sekedar wadag yang menduduki sebuah posisi tertinggi dalam sebuah mekanisme sosial. Kepemimpinan, mengandung pula pemahaman integritas, karakter, dan pandangan-pandangan strategis yang harus menjadi bagian dari mereka yang memegang posisi pemimpin.

Kini, saatnya, kita sama-sama secara jujur, mkelakukan self assesment, untuk menilai secara sendiri-sendiri, sudah lempangkah langkah kita, pada saat menyatakan dirinya sebagai orang yang peduli dengan persoalan HIV dan AIDS di negeri ini? Sebuah proses untuk melihat, tidak saja kesungguhan, komitmen, tetapi juga melihat seberapa pedulikah sesungguhnya diri kita terhadap proses penanggulangan HIV dan AIDS.

Kita perlu mempertanyakan, seberapa besar komitmen dan kesungguhan dan gagasan-gagasan strategis yang dimiliki Soesilo Bambang Yoedhoyono, sebagai Presiden Republik Indonesia, bagaimana Nur Hidayat Wahid sebagai pimpinan MPR, bagaimana Agung Laksono sebagai pimpinan DPR, bagaimana para menteri kabinet, baik yang namanya nampang keren di jajaran kepengurusan Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Nasional maupun yang tidak, bagaimana dengan Nafsiah Mboi selaku Sekretaris Jenderal KPAN itu sendiri, bagaimana para pimpinan dinas di level provinsi dan kabupaten, bagaimana para pimpinan NGO, pimpinan agama, bagaimana para pimpinan komunitas? Pendek kata, setiap mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan atau kebetulan sedangv memiliki jabatan sebagai pemimpin, penting untuk melakukan refleksi.

Jika tidak, tema kepemimpinan untuk peringatan Hari Aids Internasional, tidak akan memiliki makna yang sesungguhnya. Lalu, kita pun pantas untuk meragukan nalar kepemimpinan yang ada di setiap diri kita, dan tentu saja meragukan mereka yang saat ini nkebetulan mendapatkan posisi sebagai pemimpin.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *