Pada tanggal 10-14 September 2008 lalu, diadakan Pertemuan Jaringan Advokasi HIV dan AIDS se-Indonesia di Hotel Equator, Surabaya. Pertemuan ini merupakan lanjutan workshop advokasi HIV dan AIDS pada Januari dan Desember 2007. Selain pertemuan jaringan, diadakan pula workshop pendokumentasian data-data kasus HIV dan AIDS sebagai bahan advokasi HIV-AIDS. Hal ini dilakukan sebagai suatu cara untuk mendukung kerja advokasi dan memahami bagaimana memanfaatkan dokumentasi data tersebut sebagai alat penguat kerja advokasi.
Pertemuan jaringan ini difasilitasi oleh Khanis Shuvita dari GAYa Nusantara, Surabaya, Ikana dari ELSAM dan Arif W Djati (jurnalis) dengan menghadirkan beberapa narasumber dari KPA Surabaya, JANGKAR, GWL Network (Jaringan GAY, Waria dan laki-laki Seks Laki-laki), KPAN dan KOMNAS HAM. Sementara peserta pertemuan ini adalah R. Suhendro Sugiharto, Kios Atmajaya – Jakarta , Kristiyanti (YPI, Jakarta), Muhammad Slamet, Yuwono Dedy Sewoko (GESSANG, Solo), Gama Triono (PKBI-DIY), Ienes Angela, Luluk Surahman (Yayasan Srikandi Sejati, Jakarta), Irma Soebechi, Sonja Vanessa (PERWAKOS, Surabaya), Ko Budijantob, Rafael Hendrikus da Costa (GAYa NUSANTARA, Surabaya), Putu Ayu Utami Dewi (BALI Plus, Denpasar), Anis, Yorris (Hotline, Surabaya), Heldina Irayanti, Dita Amalia (YAKITA, Bogor), Edwin Saleh (JOTHI,Jakarta), Basuki Setya (Yayasan Kasih Indonesia, Jakarta), Shanty (IPPI, Jakarta) dan Iman Abdurrachman (Jaringan GWL-INA, Bandung).
Pada hari pertama workshop, Ina (KPA Surabaya) mempresentasikan tentang struktur dan kewenangan KPA dalam penanggulangan HIV dan AIDS di kota Surabaya, yang berdasarkan data yang ada menempati urutan teratas kasus HIV dan AIDS di Propinsi Jawa Timur. Salah satu keberhasilan KPA Surabaya adalah ikut mendorong terbitnya Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No. 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Timur, tanggal 23 Agustus 2004 yang dinilai oleh KPA sebagai sebuah bentuk keberhasilan advokasi bagi penanggulangan HIV-AIDS berbasis hak (melindungi hak-hak komunitas) seperti kebijakan Kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko.
Namun, menurut Yoris, peserta dari Hotline Surabaya, LSM yang bergerak pada isu Pekerja Seks dan Trafficking, Perda tersebut belum efektif, ”Pelaksanaan kondom 100% masih menjadi pelengkap di dalam perda karena dalam kenyataannya, pasal tersebut sangat sulit diimplementasikan. Bahkan, kebijakan tersebut sering mendapatkan tentangan dari kelompok-kelompok fundamentalis agama yang menolak kehadiran kondom tersebut”, ujarnya.
Ikhana dari ELSAM mengatakan bahwa gerakan penanggulangan HIV dan AIDS harus menggunakan pendekatan Hak Azasi Manusia (HAM). ”Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus selaras dengan 8 prinsip pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Yaitu Bersifat Universal (hak tidak dapat dirubah atau hak tidak dialami dengan cara yang sama oleh semua orang), Martabat Manusia (Human Dignity) Hak Asasi merupakan hak melekat, dan tidak dimiliki oleh setiap manusia didunia. Kesetaraan (setiap umat mansuia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya), Non diskriminasi (bahwa tidak seorang pun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor luar, seperti usia, warna kulit, jenis kelamin, politik; dan lainnya), Tidak dapat dicabut (Hak indvidu yang tidak dapat direngut, dilepaskan dan dpindahkan), Tidak bisa dibagi (Indivisibily) (bahwa hak asasi manusia semuanya bersifat inheren, yaitu menyatu dengan dalam harkat martabat manusia), Saling Berkait dan Bergantung ( Peenuhan dari satu hak seringkali bergantung pada pemenuhan hak lainnya, baik keseluruhan maupun sebagian), Tanggung Jawab Negara (Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk mentaati hak asai manusia)”
Untuk melihat apakah negara telah melakukan pelanggaran HAM (terutama pada isu HIV dan AIDS) pada masyarakat, harus dilakukan sebuah pendokumentasian kasus-kasus kekerasan dan pengabaian pelayanan rumah sakit pada masyarakat (ODHA) dalam mendapatkan perlindungan dari negara. Jika tidak ada aparat negara yang memberikan perlindungan pada masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM pada masyarakatnya. Pelanggaran HAM hanya dilakukan oleh negara pada masyarakat.
Yosep Adi Prasetyo, yang akrab dipanggil Stanley dari KOMNAS HAM (NHRC) menjelaskan tentang pentingnya pendokumentasian kasus-kasus kekerasan yang menimpa kawan-kawan yang selama ini termarjinalkan (LGBT dan ODHA) dapat dijadikan sebagai sebuah bahan argumentasi yang sangat kuat untuk melakukan advokasi kebijakan. Dalam konteks yang lebih lanjut, data-data tersebut dapat diolah, dipilah dan dijadikan sebuah dokumentasi yang benar-benar dapat bicara tentang sekian pelanggaran hak-hak LGBT dan ODHA yang mengarah pada pelanggaran HAM.
Komnas HAM menyatakan siap berkomitmen akan melakukan pembelaan-pembelaan terhadap korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, mulai dari aparat keamanan, provider layanan kesehatan (RSUD/P) pemerintah sampai departemen Pemerintahan yang melakukan kekerasan struktural (pelanggaran HAM) pada suatu kelompok (LGBT dan ODHA) di Indonesia.
“Permasalahan yang dewasa ini muncul adalah munculnya perda-perda yang bersifat diskriminatif pada kelompok tertentu. Namun KOMNAS HAM memiliki kewenangan yang terbatas, karena hadirnya UU No. 39 1999 tentang HAM dianggap sebagai ancaman oleh sekelompok orang, ancaman dari Barat yang mengancam kelangsungan kehidupan negara ini. Kita punya masalah di Perda, UU, Perpu dan Kepress, semua saling tumpang tindih. Yang dilakukan oleh KOMNAS HAM adalah dengan membuat RANHAM bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM, untuk melakukan harmonisasi hukum dengan melakukan kajian terhadap undang-undang. Kami minta hak atas kewenangan untuk membatalkan Perda-perda dan UU yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM. Namun karena kewenangan kami hanya sebatas rekomendasi, pembatalan tersebut berat kami lakukan. Kewenangan tersebut bisa dilakukan jika UU No 26 dan UU No.39 1999 diamandemen dan emmberikan kewenangan pada kami (Komnas HAM) untuk membatalkan perda-perda diskriminatif,” tambah Stanley.
Ada 2 hal yang dapat dilakukan dalam kerangka advokasi, yaitu advokasi litigasi (dengan mengangkat kasus kekerasan pada suatu kelompok/masyarakat (LGBT dan ODHA) menjadi kasus kriminal yang dilakukan oleh aparat: menuntut secara pidana) dan advokasi kebijakan (menciptakan kebijakan-kebijakan baru yang mendukung/menjamin pemenuhan hak, penghormatan hak dan perlindungan hak).
Untuk itu diperlukan sebuah mekanisme pelaporan yang jelas agar informasi-informasi yang ada dapat dijadikan data dan kemudian dapat dijadikan sebuah dokumentasi sebagai bahan advokasi baik di tingkat daerah maupun nasional. Bahkan, ketika secara nasiona tidak mendapatkan respon positif, dokumen tersebut dapat berbicara di tingkat internasional melalui laporan tahunan ke PBB.
Ada beberapa mekanisme pelaporan pelaksanaan konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara anggota PBB. Laporan pertama berasal dari Pemerintah tentang pelaksanaan suatu konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, kemudian akan dilanjutkan dengan pelaporan oleh lembaga Negara (Komnas HAM) yang bersifat mendukung ataupun melakukan kritik terhadap laporan Pemerintah, Laporan oleh koalisi Lembaga Negara, dan yang terakhir adalah laporan (bayangan) dari koalisi NGO. Laporan bayangan ini berfungsi sebagai sebuah counter dan klarifikasi dengan menyampaikan data-data faktual (data empiris) yang terjadi di Indonesia terkait laporan ratifikasi konvensi yang dilaporkan. Kasus-kasus kekerasan yang ada di Indonesia yang menimpa kawan LGBT maupun ODHA, dapat dijadikan sebagai data-data untuk menyusun sebuah dokumen faktual atau data empiris tentang sekian pelanggaran hak, yang ketika diolah dapat ditarik menjadi bukti-bukti tentang pelanggaran HAM.
Data-data empiris yang ada di lapangan (terkait pelanggaran–pelanggaran hak komunitas LGBT dan ODHA), jika diolah menjadi sebuah dokumentasi dapat digunakan sebagai sebuah alat advokasi yang tidak terbantahkan. Dokumentasi tersebut dapat digunakan untuk advokasi di Daerah, Nasional, Regional dan Internasional dengan menggunakan ruang-ruang pelaporan pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
gama