Homoseksualitas masih menjadi kontroversi di masyarakat. Kaum
homoseksual masih mendapat stigma sebagai pendosa, manusia tak
bermoral, ataupun manusia yang dilaknat Tuhan. Mereka juga sering
mendapat perlakuan diskriminatif. Padahal sebagai warga negara, mereka
pun memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara yang lain.
Demikian antara lain yang berkembang dalam seminar yang diadakan PLU
(People Like Us) Satu Hati, organisasi berbasis komunitas, bekerja sama
dengan PKBI DIY.Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian dari peringatan International Day Againts Homophobia (IDAHO) bertema Homophobia: The Unfinished Story,
yang dilaksanakan tanggal 15-17. Agenda lainnya, pameran lukisan dan
foto, pemutaran film, diskusi publik, aksi damai, pentas musik waria,
dan bakti sosial.
Menurut Aris Arief Mundayat, menjadi
homoseksual merupakan sebuah pilihan, bukan kelainan. Dalam proses ini,
sosok yang paling mengalami homophobia orangtua. Mereka merasa khawatir
jika anaknya memilih untuk menjadi seorang homoseksual. “Mengapa?
Karena hubungan homoseksual tidak akan dapat menghasilkan keturunan.
Generasi penerus dari keluarga mereka akan terputus,” katanya.
Kaum
homoseksual, tambah Aris, antropolog dari UGM, mengalami kekerasan
secara fisik dan simbolik. Kekerasan itu bisa berasal dari keluarga
mereka sendiri dan lingkungan terdekat. Lantas, mereka lari dari
keluarga dan mencari komunitas yang mau menerima keadaannya. Komunitas
menjadi modal sosial untuk membangun kerjasama dan dukungan moral.
Ruang yang dapat mengakomodasi perjuangan mereka antara lain media
massa terutama media audio-visual. “Media ini pun diperebutkan oleh
kaum homoseksual dan heteroseksual untuk menyuarakan kepentingan
mereka,” lanjutnya.
Sementara itu, Widodo Budidarmo, aktivis LSM Arus Pelangi
mengatakan, saat ini sudah ada dua kesepakatan internasional mengenai orientasi seksual sebagai HAM, Montreal Principle dan Yogyakarta Principle. “Prinsip-prinsip Yogyakarta merupakan sekumpulan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikaitkan
dengan orientasi seksual dan identitas jender,” katanya.
Prinsip-prinsip
Yogyakarta ini dirumuskan oleh 29 pakar HAM dari 29 negara di
Yogyakarta pada 6-9 November 2006 dan disosialisasikan oleh
International Gay Lesbian Human Right Commission (IGLHRC) di New York
, 26 Maret 2007. Menurut Widodo, sosialisasi ini untuk mendorong semangat negara-negara anggota PBB, sehingga akan mengadopsi prinsip-prinsip ini ke dalam hukum nasional mereka. “Acara IDAHO bukan sekadar ajang pamer, tetapi merupakan ruang
bagi kaum homoseksual untuk mengekspresikan kemampuan mereka,” lanjutnya.
Selama ini, teman-teman gay terstigma sebagai komunitas yang suka pesta dan seks
bebas. Melalui serangkaian kegiatan IDAHO diharapkan bisa menjadi sebagian proses penghapusan stigma dengan menunjukkan berbagai aktivitas dan rtentu saja cara pandang terhadap berbagai persoalan sosial yang ada, yang salah satunya melalui bakti sosial. “Nantinya
program bakti sosial ini akan menjadi agenda rutin tiap bulan dalam
program kami,” kata seorang panitia dan pengurus PLU Satu Hati di
sela-sela acara.