Lina Listinawati (19), siswi sebuah
SMA, di Kota Cirebon, Jawa Barat, akhirnya mengambil pilihan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri. Problemnya menjadi tidak sederhana, karena dirinya sedang dalam kondisi hamil diperkirakan dalam usia 2 bulan. Pilihan yang dilakukan Lina tentu saja tidak sederhana, tetapi bisa jadi sudah melalui proses pertimbangan yang cukup panjang.

Sebagaimana luas diketahui, perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD), akan mengalami berbagai problem yang bertingkat, baik dalam aras keluarga, masyarakat maupun negara. Dalam keluarga, bisa jadi akan mengalami kemarahan serius dari anggota keluarganya. Seringkali juga terjadi, harus mengalami pengusiran dari rumah orang tuanya.

Dalam kehidupan sosial, tentu saja, akan mengalami cemoohan, hinaan dan sampai pada pengucilan bahkan juga pengusiran dari lingkungan sosialnya. Dalam wilayah negara, di mana, seorang remaja memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan memilih di mana akan mengikuti proses pendidikan akan hilang begitu saja dengan KTD yang dialaminya. Jamak diketahui, perempuan remaja yang mengalami kehamilan, akan dianjurkan untuk mengajukan surat pengunduran diri dari sekolah tempatnya belajar. Alasannya, tentu saja sangat teknis, menjaga citra sekolah.

Persoalannya, mengapa sebenarnya remaja perempuan harus mengalami KTD? Pengalaman PKBI DIY dalam melakukan dialog dan pendidikan publik di kalangan remaha, menunjukkan, suburnya berbagai informasi yang salah berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual. Banyak mitos yang diyakini kebenarannya, misalnya, melakukan hubungan seks satu kali tidak akan menyebabkan kehamilan, lompat-lompat segera setelah melakukan hubungan seks tidak akan mengakibatkan kehamilan, dan sebagainya.

Dalam riset yang dilakukan Pusat Studi Seksual (PSS) PKBI DIY juga menunjukkan, sumber-sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi dan sekual juga diambil dari sumber-sumber yang tidak selalu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Misalnya, mereka mendapatkan informasi hanya dari mulut ke mulut di antara teman-teman sebaya, internet ataupun kolom tanya jawab seksualitas di media massa. Untuk yang terakhir, remaja akan mendapatkan informasi yang sepenggal-penggal dan karenanya tidak lengkap.

Lina Listinawati, pada akhirnya, harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Ketidaktersediaan informasi kesehatan reproduksi dan seksual, akan berakibat fatal bagi remaja perempuan terutamanya. Untuk itu, kesepahaman para pihak dan dukungan untuk menjadikan mata pelajaran kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum menjadi niscaya adanya. Sehingga seluruh informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksual tidak saja akan disampaikan secara sempurna, tetapi juga ada dalam koridor perkembangan remaja itu sendiri.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *