Kita sudah mulai bisa merasakan denyut persiapan Pemilihan Umum 2009. Penetapan calon-calon legislatif dilakukan partai politik dengan beragam-ragam model. Sebagiannya tetap memalui mekanisme internal partai dan sebagiannya mencoba membuka diri untuk pendaftaran calon dari masyarakat umum secara terbuka. Sebagian lagi, inisiatif calon juga menarik untuk disampaikan, ia mencoba menjaring calon-calon cukup banyak dari satu daerah pemilihan. Tetapi ia membiayai seluruh kebutuhan para calon, dan kelak dalam Pemilu diharapkan, seluruh calon dari partai tidak akan mendapatkan suara yang cukup dan tentu saja, sebagimana diatur dalam mekanisme UU Pemilu, suara akan dilimpahkan pada nomor urut pertama. Maka, jadilah ia menjadi anggota parlemen.
Ramai yang lain, munculnya kmbali para artis tampil menjadi calon legislatif dari berbagai politik. Tidak ada yang salah, menurut hemat kita, calon-calon legisltaif dari partai politik. Hal yang perlu dipertanyakan bukan pada kualitas para artis yang menjadi calon legislatif, tetapi pembungkaman krigtisisme rakyat, karena coba didekati dengan strategi kekaguman publik semata-mata.
Menarik pula, manakala kita mengikuti perkembangan tuntuan tindak korupsi di kalangan anggota parlemen. Terlepas sudah terbukti atau belum seluruh persoalan korupsi di gedung wakil rakyat, tetapi semuanya menjadi sangat penting bagi rakyat untuk kembali menilai sepak terjang para politikus.
Dalam situasi saat ini, kita menjadi sedikit ragu, bagaimana agenda pemajuan hak kesehatan reproduksi dan seksual, penanggulangan laju angka HIV dan AIDS, dengan hiruk pikuk partai politik yang sedang mengalami deraan berbsgai persoalan di atas. Partai politik tidak sedang sibuk menyiapkan gagasan yang hendak disampaikan ke publik dalam masa kampanye, melainkan masih repot cuci piring agar bersih dari berbagai tuduhan korupsi para anggotanya. Partai politik sedang sibuk menarik para artis, sebagai daya pikat, yang tidak perlu lagi ndakik-ndakik rancangan programnya.[]