“Identitas, kelompok yang memiliki nilai tertentu sebagai kategori sosial. Kumpulan yang diakui dalam interaksi antarkelompok dengan membawa ciri kelompoknya,” tutur Ashadi Siregar, Direktur LP3Y, yang menjadi pembicara dalam Studium General yang diadakan PKBI DIY pekan silam.
Identitas merupakan pencitraan subyektif dan obyektif berasal dari cara hidup dan gaya hidup kelompok tersebut. Pengelompokan dapat terbentuk dari kondisi genetik (jenis kelamin, ras), kondisi fisik (difabel), kondisi sosial (pekerjaan), maupun kecenderungan personal (agama, ideologi, orientasi seksual). Pencitraan subyektif berasal dari anggota kelompok dalam menunjukkan ciri khas yang dimiliki kelompoknya. Sedangkan pencitraan obyektif merupakan penerimaan kelompok lain dalam interaksi sosial.
Ashadi menuturkan, dalam identitas melekat suatu hak asasi pada individu tersebut. “Hak seseorang yang diterima sebagai keadaan genetik diperoleh secara otomatis. Tetapi ada kalanya hak tidak begitu saja diperoleh dan harus diperjuangkan. Misalnya kelompok difabel. Demikian pula dengan beberapa kelompok yang belum mendapatkan hak-haknya. Hal ini berkaitan dengan pencitraan subyektif yang tidak berhasil sebagai pencitraan obyektif,” katanya.
Ada beberapa faktor yang menjadi hambatan bagi individu maupun kelompok dalam mewujudkan hak-haknya agar diterima dalam interaksi antarkelompok. Pertama, keterbatasan fisik dan mental. Difabel, anak-anak, dan perempuan karena keterbatasannya sering kali mengalami diskriminasi dan kekerasan sehingga kehilangan hak-haknya.
Kedua, kondisi status sosial. Tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan ekonomi yang lemah, dan status sosial yang rendah menjadikan seseorang mengalami keterbatasan dalam relasi sosial serta tidak mempunyai akses terhadap fasilitas layanan publik. Sehingga dia kehilangan hak-haknya atas pemanfaatan fasilitas publik.
Ketiga, kondisi struktural. Adanya konstruksi sosial yang menganggap ketidaksetaraan sebagai suatu kebenaran tidak menampakkkan keberadaan kelompok yang tidak dapat mewujudkan hak-haknya. Keterbatasan fisik dianggap sebagai masalah privat sehingga harus berjuang sendiri dalam setiap situasi sosial.
Pihak yang ‘benar’ memiliki kekuasaan untuk membenarkan setiap tindakannya dalam situasi sosial yang diciptakannya. Untuk itu situasi sosial yang berkualitas harus memiliki dasar tiga nilai kebenaran, yaitu kebenaran empiris, legalitas, dan rasa keadilan.
Kebenaran empiris dapat dilihat dengan indra manusia dalam ruang dan waktu. Kebenaran legalitas bertolak dari hukum positif dengan membedakan tindakan manusia berdasarkan ukuran hukum formal. Setiap perbuatan manusia dinilai dengan kaidah hukum formal, baik hukum positif, hukum agama, maupun hukum adat. Sedangkan kebenaran rasa keadilan dinilai melalui keberadaan manusia secara total yang berkaitan dengan hak-haknya sebagai manusia. Kebenaran ini bertolak dari makna kemanusiaan.
“Dalam situasi sosial, diperlukan sudut pandang dengan memberi perhatian terhadap person yang berada dalam situasi ketidaksetaraan. Perlunya interaksi antara pihak yang powerful (kuat) dengan pihak yang powerless (lemah) pada interaksi empiris, sekaligus pihak voiceful (bersuara) dan pihak voiceless (diam) dalam politik pencitraan. Suatu gerakan identitas bertujuan untuk pemberdayaan warga atas hak-haknya. Setiap gerakan pemberdayaan sebagai advokasi secara empiris untuk memenuhi hak-haknya secara empiris dan sosial melalui kebutuhan primer (fisik), akses sosial, dan nilai budaya ekualitas. Dalam politik pencitraan sebagai program mediasi yang bertolak dari prinsip keseimbangan yang disertai dengan politik afirmatif,” kata Ashadi.