“Setelah membaca novel ini, saya menjadi memiliki keberanian untuk bertindak. Padahal saya sebelumnya merasa takut dan tidak memiliki kekuatan,” kata Abidah el Halieqy, penulis Novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS), menirukan kembali testimonial pembaca novelnya yang ditulisnya, dalam acara Seminar Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Pemutaran Thriller Film Perempuan Berkalung Sorban, karya Hanung Brahmantyo, di Gedung Teatrikal Universita Islam Yogyakarta, Minggu (11/1).
Abidah el Halieqy, juga merasakan, dirinya sangat puas, mengetahui novelnya memiliki efek bagi pembaca yang disampaikan langsung kepadanya. Efek semacam ini memang selalu diinginkan, karena penulisan novel PBS sejak awal memang dimaksudkan sebagai media pemberdayaan perempuan. “Kita ingin mendobrak kungkungan budaya patriarkhi yang menjadikan perempuan tidak berdaya,” katanya.
Apa yang ditulis dalam novel PBS, menurut Abidah bukan sesuatu yang mengada-ada. Semuanya benar-benar terjadi dalam masyarakat kita. Semua soal yang ditulis merupakan bagian diri kita sendiri, baik terjadi pada masa lalu, saat ini, bahkan masih sangat mungkin akan terus terjadi pada masa mendatang. Meskipun ini sebuah karya fiksi, tetapi isinya sungguh-sungguh ada di hadapan mata kita. “Mendapatkan data-datanya, saya lakukan nriset selama enam bulan, membaca berbagai referensi, mengikuti berbagai acara yang membahas soal ketidakadilan jender dan kesehatan reproduksi perempuan,” katanya.
Novel yang ditulis selama sembilan bulan ini, bagi Abidah memang memiliki makna sendiri. Misinya seperti yang ada dalam dirinya untuk melakukan pemberdayaan perempuan. Apalagi novel ini, ditulis selama masa mengandung anaknya yang kedua, sehingga seperti kadi bagi anaknya. “Tiga hari setelah saya melahirkan, novel ini terbit,” katanya.
Ketika akan diangkat menjadi film, Abidah melakukan diskusi serius, karena film yang akan diproduksi berdasarkan novel ini, hendak diberi judul Kerudung Cinta. Abidah keberatan, tidak saja karena seperti mengekor pada judul-judul film yang telah ada. Tetapi yang lebih penting, dengan judul itu akan menghilangkan semangat pendobraknya. Kenapa diberi judul Perempuan Berkalung Sorban, menurut Abidah merupakan simbol perlawanan mendasar terhadap makna sorban di masyarakat kita. “Sorban itu simbol bagi laki-laki yang seakan-akan memiliki otoritatif dalam agama,” katanya.
Menjawab pertanyaan tentang pembakaran buku-buku yang dilakukan Kiai Ali–salah satu tokoh dalam novel PBS, termasuk bukunya Pramudya Ananta Tur, Abidah mengatakan itu salah satu pengembangan dari teks dalam novelnya, ketika Kiai Ali melarang santrinya membaca buku-buku yang dianggap menyesatkan. Buku-buku yang telah menumbuhkan keberanian Annisa–tokoh sentarl novel PBS, melakukan perlawanan terhadap budaya patriarkhi. “Bagian ini mungkin akan menjadi kontroverial,” ujarnya.