Saya baru saja selesai makan siang.
Teman mudaku muncul dengan wajah yang tampak tidak bersahabat. Sedang
uring-uringan rupanya. Saya mencoba menebak-tebak, apa yang soal apa
yang sedang mengusik pikirannya. Apakah sedang ada masalah dengan
pasangannya? Pasti tidak, karena teman mudaku selalu memiliki
kemampuan untuk memisahkan persoalan-persoalan kantor sebagai
profesional dan persoalan individu. Dia memang beda, tetap konsisten,
urusan kantor diselesaikan di kantor, dan urusan individu
diselesaikan di rumah atau di warung nasi kucing. Dalam soal ini,
saya agak malu dengan teman mudaku, karena terkadang saya malah tidak
bisa konsisten dengan sikap profesional itu. Urusan kantor saya
bicarakan di rumah, dan urusan rumah saya diskusikan di kantor.

“Ada waktu, Pak?” Tanya teman
mudaku mengajukan pertanyaan, tetapi saya tangkap lebih pada meminta
waktu, supaya bisa ngobrol saat itu juga.

“Ah, saya selalu ada waktu untuk
semua teman-teman,” kataku sambil menarik kursi di sebelah kiriku.
Teman mudaku langsung mengambil kursi di depanku, dan duduk
berhadap-hadapan.

“Ini soal serius, Pak?”

“Mana pernah kamu bicara denganku
tidak serius?”

“Saya dengar persediaan ARV kita
habis lagi. Jika ini benar-benar terjadi situasinya bisa gawat.”

“Analisismu kaya perang saja, pakai
gawat-gawatan. Seperti polisi dan tentara yang harus melakukan
latihan untuk sekedar menangani kemungkinan terjadinya kerusuhan pada
pelaksanaan Pemilu mendatang.”

“Ini jauh penting dari Pemilu,”
kata teman mudaku. Saya mencoba mengira-kira, persoalan apa gerangan
yang hendak disampaikannya. Tetapi, tak juga mampu memperkirakannya,
ketimbang lelah bermain tebak-tebakkan, saya pun menyerah. Meluruskan
kaki, dan sedikir mengambil posisi setengah tidur menyandar belakang
kursi.

“Sepenting apa? Soal isu ARV habis,
di negeri ini khan memang konsumsi harian. Lalu akan ada yang
menjawab, tenang-tenang, kita sedang menghitung ulang anggaran. Apa
gawatnya?”

“Lha, apanya yang diheranin, apa yang
dikejutin. Pesawat ndlongsor saja nggak ada yang terkejut,
nggak ada yang bilang gawat. Sudah cukup kok dijawab, pesawat
jenis ndlongsor itu di-grounded.”

“Naggak bedanya juga kan dengan keterlambatan kereta api, semua jawabannya tetap normatif, dan
besoknya pasti terlambat lagi.”

Teman mudaku tampak bersungut, saya
tidak tahu apa sebabnya. Mungkin terkejut mendengar jawabanku,
bagaimana masalah ARV langka itu, ARV yang terlambat itu, malah
dianalogikan dengan peswat ndlongsor dan kereta api terlambat. Soal beda yang teramat jauh. Ini soal
pengendalian pengembangan virus, yang bisa jadi resisten obat, dan
soal ketertibatan minum obat. Ini soal bertahan hidup, kenapa
dianggap remeh-temeh. Mungkin saja, teman mudaku, akan menggap saya
sudah tidak berpikir secara lurus, secara kritis. Atau mungkin saya
diprasangkai sudah menjadi bagian yang menjalankan program-program
milik lembaga-lembaga yang bertanggung jawab secara struktural
terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Biasakan, teriak keras ketika
di luar, tetapi menjadi begitu tenang, manakala berada di dalam,
turut serta menikmati kenyamanan.

Maksudnya,
Pak?” Nah, kali ini tebakkanku benar adanya. Pandangan matanya
sudah menunjukkan reaksi yang berbeda. Pertanyaannya, mengandung
semangat ancang-ancang menyerang. Saya hanya berbisik dalam hati,
semoga saja saya tidak diberondong dengan teori-teori yang terkadang
malah bikin rumit saja.

Yah,
saya nggak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin bilang, hadapilah
persoalan ini dengan tenang,
ning,
ketenangan batin. Melakukan refleksi-refleksi atas fakta-fakta yang
selama ini ada.”

Lalu?”
Tanyanya pendek.

Rumuskan
dengan jelas nalarnya. Cari pijakan datanya, temukan fakta
empirisnya. Dari situlah kita berangkat bicara dan bekerja. Kata
mbahku dulu, tidak
baik melakukan sesuatu tetapi didorong oleh rasa amarah dan
prasangka.”

Saya
tidak marah, saya tidak berprasangka, Pak.”

Saya
setuju, dirimu pasti terbebas dari seluruh prasangka, seluruh
amarah.”

Ngece…. Persoalannya,
saya memang menilai, ada ketidakseriusan di negeri ini dalam
menangani persoalan HIV dan AIDS. Kebutuhan ARV sudah menjadi
reguler, yang harus tersedia sepanjang waktu. Tidak ketemu nalar,
kan, kalau sampai tidak tersedia, apalagi argumentasinya adalah
anggaran.

Betul,
betul sekali.”

Lantas
apa yang mungkin bisa kita lakukan untuk soal ini, Pak?”

Pertama
kali, tentu saja, tidak menambah keruwetan di komunitas. Lalu,
mencoba melakukan dialog.”

Wealah,
Pak…, dialog itu nggak kurang-kurang sudah dilalakukan. Teman-teman
sudah lelah, kalau dialog terus tawarannya.”

Lho,
kalau nggak dialog bagaimana kita mau berbicara. Dialoh merupakan
proses penting dalam menyelesaikan masalah apapun.”

Kekeliruan
kita, seringkali kita berjalan linear, lurus-rus, gak berbelok-belok.
Makanya, jawabanmu dialog terus sudah bosan. Soalnya, yang dilakukan
memang hanya dialog saja.”

Maksudnya,
kita mesti melakukan berbarengan dengan strategi yang lain?”

Lha,
iya. Dalam dialog juga tidak selalu melulu dengan pihak-pihak yang
kita anggap merepresentasikan pelaksana tanggung jawab negara. Kita
sering melalaikan untuk
sowan kepada i dan pinisepuh yang puluhan tahun lalu sudah berdarah-darah melakukan penanggulangan
HIV dan AIDS. Bukankah aktivis itu tidak ada masa veterannya? Mereka
masih akan tetap aktivis sampai kapan juga. Pengalaman mereka
merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya, dibandingkan proyek
Malam Renungan AIDS Nasional ataupun Hari AIDS Internasional.”

Ok,
saya paham sekarang.”

Nah,
setelah itu, secara berbarengan, berbagi tugas dengan elemen yang
lain, yang memiliki kapasitas untuk melakukan analisis anggaran.
Mereka bisa mulai melakukan analisa terhadap anggaran yang ada,
mungkinkah ada kebocoran, jika ada di kanal yang mana kebocoran itu
terjadi. Ini kalau dilihat dari nilai nominalnya.”

Apa
masih ada yang bisa dilihat dari sisi lainnya?”

Masih
ada, dunk. Misalnya, teman yang lain, dengan keahlian yang berbeda,
bisa melihat, apakah proses-proses penunjukkan para pihak yang
terkait dengan pengadaan ARV sudah memenuhi standard yang bernar?
Apakah ada unsur main mata dalam prosesnya?”

“Yup-yup. Saya
mengerti dan jelas sekarang, Pak. Kita kembali pada nalar gerakan
sosial yang paripurna, ya. Gerakan kita harus memperkuat basis
dahulu. Kemudian, melakukan pencarian data dan fakta, sebagai
landasan kerjanya. Ini yang sering kita sebut sebagai evidence
base.
Lalu, dengan bekal data ini, kita bisa melakukan tindakan
strategis lainnya.”

“Misalnya, apa?”

“Lho, kalau
memang terdeteksi ada kebocoran atau main mata dengan penyalahgunaan
wewenang, kan arah jelas, Pak. Ini bisa di-KPK-an.”

“Oppssssss.
Sampai di situ, ya.”

“Lho, iya, Pak.”

Teman mudaku tampak
puas. Wajah kusutnya sudah berangsur hilang. Setidaknya, mungkin, ini
sekali lagi, mungkin, sudah memiliki kerangka nalar dasar untuk
merumuskan strategi-strategi kerja yang lebih efektif, berdaya-guna,
tetapi tidak harus dengan menyakiti siapapun. Setidaknya, kalau
semangat ini yang kita gunakan, ruang-ruang dan ruas-ruas yang ada
tetap pada keyakinan bersama, semua kita peduli terhadap proses
penanggulangan HIV dan AIDS di negeri ini, dan serius pula untuk
menangani secara serius mereka yang terinfeksi HIV maupun yang
berstatus AIDS.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *