Kepadatan kerja dan sangat melelahkan
tak juga menyurutkan teman mudaku untuk meluangkan waktu ngobrol ria,
setelah jam kerja formal usai. Suasana tak juga berbeda, santai,
ongkang-ongkang, dan selalu saja berbeda orang yang terlibat. Saya
suka saja, meskipun sore ini pesan pendek baru saja saya terima dari
pasanganku di rumah, “kpn plg, anak panasn badannya.” Tetapi
wajah-wajah bersemangat dalam pencarian ideologi gerakan, tak mampu
membuat saya untuk segera meninggalkan lingkar obrolan itu.
“Pesan penting rupanya, Pak?” Tanya
teman mudaku. Ada yang berbeda sore ini. Wajah tampak lebih
sumringah, cerah, berbinar-binar.
“Penting sekali. Anakku suhu badannya
naik. Tak apa, sudah diberi sirup penurun panas, tetapi bukan puyer,”
kataku.
“Wah, sampeyan terpengaruh
pemberitaan soal puyer rupanya,” sela teman sebelah kananku,
diiringi dengan senyum. Terasa agak sedikit menghina, ah, bukan
menghina, tetapi sedikit bertanya yang tak terucapkan, “masa saya
percaya begitu saja dengan berita.”
“Mungkin saja, ini khan menjadi
bagian dari soal kekuasaan yang kita diskusikan. Bagaimana?”
Tanyaku sambil menoleh ke teman mudaku.
“Saya kira iya, Pak. Tetapi saya
ingin menyampaikan satu lagi soal macam kekuasaan. Karena ini
mendasar dan nantinya akan mampu untuk membaca kekuasaan apa yang
sedang bekerja dalam soal puyer itu.”
“Wech, mantaplah itu. Kekuasaan
apalagi maksudnya?” Kataku lagi, sambil melambaikan tangan kananku
ke arah seorang teman yang melewati tempat kami ngobrol.
“Ada apa pak?” Tanyanya sambil
mendekat.
“Mau ke mana?”
“Ke toilet, Pak?”
“Oooh, saya kira mau pasar. Cepat
saja ke sana, entar keburu tidak terkontrol,” kataku diiringi
dengan suara tawa bersamaan.
“Menurut Galtung, kekuasaan yang
ketiga disebut kekuasaan punitif,” kata teman mudaku, sambil
membuka tas punggungnya. Saya kira hendak mengambil contekan, karena
lupa mengenai definisi kekuasan punitif. Ternyata perkiraanku
meleset, teman mudaku mengeluarkan beberapa kue lemper dari tasnya,
dan mempersilakan teman yang lain untuk menikmatinya. “Maaf
terbatas, sisa diskusi dengan Kepala Dinas,” katanya senyum-senyum.
Kalau soal kerajinan tangan, memang teman mudaku ini paling jagoan.
Seringkali saya harus ditolong olehnya untuk menyiapkan bahan-bahan
presentasi, kalau sudah berbentuk powerpoint, yang dipadu dengan
image, audio dan audio visual.
“Kekuasaan ini seringkali juga
disebut kekuasaan yang merusak, karena untuk memperoleh dan
mempertahankannya tidak selalu saja menggunakan kekerasan fisik,
perusakan fasilitas umum, pembakaran dan sebagainya,” ujar teman
mudaku.
“Saya lanjutkan pidato ilmiahku,”
kata teman mudaku, saat menemukan wajah-wajah bengong tak paham
teman-teman lainnya.
“Kekuasaan ini diperoleh melalui
operasionalisasi force (kekuataan)
dan violence
(kekerasan),” katanya.
“Wach,
pakai bahasa Inggris segala, ya?” Tanyaku.
“Biar
tampak ilmiah dan ngintelektual, Pak,” sahut yang lainnya. Saya
hanya manggut-manggut saja. Memang ilmiah harus selalu ditunjukkan
dengan bahasa asing, memang intelektual harus disimbolkan dengan
bahasa asing? Entahlah, yang pasti apa salahnya juga menggunakan
bahasa asing? Menurutku sih, hanya menjadi salah, manakala audience
dalam proses komunikasi itu memang tak tahu bahasa asing, itu saja.
“Lalu,
apa silaturrahminya antara kekuasaan ideologi, renumaratif dan
punitif ini?” Tanyaku.
“Maksudnya,”
teman mudaku agaknya tak mengerti.
“Hehehe,
maksudku hubungan antara ketiganya,” saya menjelaskan, karena joke
yang saya lontarkan justru membingungkan. Mungkin inilah joke yang
tidak berakar, maksud hati memancing tawa, yang terjadi malah bengong
belaka.
Saya
jadi teringat ketika diundang dalam sebuah talkshow di radio
swasta-komersial. Temanya serius, soal penyebaran HIV dan AIDS yang
terus menerus meningkat dan tampaknya lembaga yang diserahi negara
untuk melakukan koordinasi penanggulangan virus ini tak juga
menemukan strategi jitu. Saya menyampaikan gagasan, karena sebagian
masyarakat yang tinggal di kota dan termarjinalkan tidak memiliki
KTP, mereka menjadi susah untuk mengakses layanan kesehatan dasarnya.
Sang presenter bertanaya, “apa hubungannya antara KTP dan
HIV/AIDS?” Saya ketika itu menjawab dengan sekenanya, “pertanyaan
itu sama dengan statemen yang lain, “apa hubungannya antara kumis
dan kertas.” Tetapi untung saja, teman mudaku tidak mengikuti
jejakku, sehingga saya tidak terkena batunya.
“Sesungguhnya,
ketiganya tidak bisa dipisahkan, Pak. Ketiganya saling mengisi dan
memperkuat. Misalnya, legitimasi dan reproduksi kekuasaan ideologis,
mensyaratkan adanya kepatuhan renumeratif dengan melanggengkan
ketergantungan dan membutuhkan punitif untuk melahirkan ketakutan,”
katanya.
“Hhhhhm,
sangat cemerlang,” kataku.
“Begitulah,
skema kekuasaan yang dibuat Galtung dalam membaca kerja-kerja
kekuasaan yang bekerja dalam masyarakat,” katanya lagi.
Teman
mudaku memang sungguh-sungguh hendak belajar. Pemetaan kekuasaan ini
akan membantu dalam membaca persoalan-persoalan komunitas yang
dimarjinalkan oleh sistem kekuasaan di negeri ini. Sebuah pemetaan
yang akan sangat berguna dalam melakukan advokasi untuk pemenuhan
hak-hak mereka. Inilah, yang memberikan semangat saya untuk terus
bersahabat dengan mereka melakukan berbagai eksperimentasi teori
dalam mengembangan model gerakan perubahan sosial yang memiliki
keberpihakan terhadap komunitas. Mereka yang dikukungkung oleh
kekuasaan ideologis, dibuat tergantung oleh kekuasaan renumeratif dan
dibuat ketakutan oleh kekuasaan punitif. Mereka yang tak pernah bisa
merasa bergembira dalam menghadapi dan menjalani kehidupan di negeri
ini.
Teman
mudaku, saya yakin, akan bisa menjadi teman komunitas yang
dimarjinalkan, sehingga mereka bisa keluar dari belitan kekuasaan,
yang dilanggengkan.[]