“Bagaimana khabarnya, Pak?” Tanya
teman mudaku, setelah beberapa hari ini tidak bertemu. Menurut cerita
teman-temannya, teman mudaku sedang sibuk memperdalam ilmu
multikulturalisme. Weach, hebat benar. Sebuah proses pencarian yang
terus menerus, yang hendak ia abdikan untuk sebuah gerakan identitas
di negeri ini. Saya manggut-manggut kagum.
“Baik-baik,” kataku menyambut.
Seperti biasanya, kami duduk-duduk. Siapapun bisa bergabung, ngobrol
apa saja dengan siapa saja. Beberapa relawan tampak mulai bergabung.
Saya memulai mengingatkan obrolan sebelumnya. Saya sendiri menganggap
forum ngobrol semacam ini merupakan bagian untuk menyemai, menguji
dan mengembangkan berbagai wacana sosial yang bebas tanpa sekat.
Maksudku, tanpa harus memandang atribut-atribut sosial.
“Ini serius, soal kekuasaan,”
ujarku.
“Wach, nggak up date, nech,”
kata salah seorang yang turut bergabung. Semua tentu saja tertawa.
Bukan karena ketertinggalan teman itu terhadap hasil obrolan. Tetapi,
di tempat kami beraktivitas, memang sedang demam istilah ‘nggak
update’. Pasalnya, kami baru saja memasang jaringan internet yang
online 24 jam. Alasannya, supaya bisa selalu stay connected
dengan berbagai isu dan gerakan, baik pada level lokal, nasional
maupun internasional. Kata salah seorang teman, problem gerakan saat
ini, keterputusan dengan gerakan internasional. Ini menarik, tetapi
akan kita ceritakan pada bagian lain, bagaimana argumentasi teman
kita mengenai keterputusan gerakan ini.
Kita kembali ke teman mudaku yang akan
bercerita tentang kekuasaan. Teman mudaku, yang baru saja kembali
dari sebuah proses refleksi mengenai pembacaan peta sosial dan
pertempuran wacana untuk memenangkan persaingan ideologi.
Pembelajaran yang berat dan tentu saja membosankan, bagi mereka yang
kehilangan orientasi gerakan sosialnya. Mereka yang tercerabut dari
idealisme, kecuali hanya berkecimpung dalam aktivisme belaka.
“Seingat saya, obrolan sudah sampai
pada keragaman kekuasaan dan karenanya cara-cara mempertahankannya
pun beragam pula,” kataku menyambungkan saja.
“Ya, ya, ya, saya ingat. Dan kita
sampai pada terma kekuasaan ideologi,” kata teman mudaku.
“Terserahlah, saya ngikut saja, kalau
nyambung entar nimbrung,” kata teman lain yang baru gabung petang
ini, khususnya dalam obrolan mengenai kekuasaan.
“Saya kira iya, kalau menggunakan
review, entar kaya pelatihan saja,” kataku.
“Bagaimana soal kekuasaan yang lain?”
Tanyaku.
“Ini masih menurut Galtung,”
katanya.
“Kekuasaan lainnya disebut, kekuasaan
renumeratif. Kekuasaan jenis ini sangat erat dengan sistem ekonomi,”
lanjutnya.
“Artinya?” Kataku.
“Semakin mereka memiliki kemampuan
ekonomi tinggi, maka semakin mungkin untuk menguasai orang lain.
Karena kekuasaan ini memang diperoleh melalui kepemilikan atas
barang-barang untuk ditawarkan kepada publik. Pembentuknya tentu saja
kemampuan untuk melakukan tawar menawar.” Lagi-lagi saya menemukan
kefasihan dan ritme semangat tampak menggurat dalam nada bicaranya.
Saya menemukan gaya agitatif tahun 80-an ketika saya masih menjadi
pendengar setia dalam diskusi-diskusi bawah tanah. Gerakan sosial
yang bersembunyi karena tekanan politik yang begitu kuat dari
pemagang kekuasaan ketika itu.
“Basis materialnya apa?” Tanyaku.
“Kekuasaan ini diperoleh dari
kemampuan untuk menguasai tiga wilayah penting penopang ekonomi
kapitalistik, penduduk, tanah dan modal. Semakin mereka memegang
kendali atas bidang ini, semakin mereka kuat kekuasaannya.”
“Wach, nalarnya bagaimana itu?’
“Begini, begini. Tapi sebentar, tak
nyruput kopi dulu,” kata teman mudaku, yang diiringi dengan
meledaknya suara tawa dari yang lain.
“Tolong kalau masih ada yang punya
rokok disiapkan, untuk narasumber kali ini,” sela teman yang lain
lagi.
“Gak, saya gak merokok. Mengikuti apa
kata ulama Indonesia.”
“Maksudnya?”
“Gak ada maskud apa-apa, seperti juga
fatwa tentang haram merokok, khan juga gak ada maskud apa-apa, juga
fatwa haram untuk golput, khan juga gak ada maksud apa-apa.
Hahahahhaa.”
“Mumet aku,” kata teman yang duduk
tepat di sebelah kananku.
“Nech, saya ada obat mumet,” kataku
sambil memberinya sebuah buku kucel. Dahinya berkerut-kerut, tapi
diterimanya juga buku kucel itu. Tanpa komentar apa-apa, langsung
dimasukkan ke dalam tas punggungnya. “Statusnya pinjam,” kataku,
disambut dengan mesem kudanya.
“Gak usah pakai nalar, ngobrolnya
saja gak pakai nalar, kok,” kata teman mudaku.
“Nesu, nesu,” kata yang lain hampir
bersamaan.
“Begini, saya pakai contoh saja.
Ketika mereka yang menguasai modal, akan mampu mengembangkan berbagai
penawaran barang ke publik. Bahkan, ketika pasar itu tidak ada,
mereka menciptakan pasanya sendiri. Misalnya, dengan terus menerus
mengenalkan wacana ‘cantik’ ke publik, membuat identifikasi tentang
cantik, lalu mereka memproduksi berbagai barang untuk bisa memenuhi
seluruh identifikasi tentang cantik itu.”
“Karena cantik diidentikkan dengan
rambut panjang hitam berkilauan, lalu publik percaya, dan
diproduksilah berbagai merek perwatan rambut. Kita yang sudah
dikuasai mengekor saja, membelinya, sambil berharap untuk bisa
memiliki rambut yang yang pengertiannya sudah diciptakan oleh
pemegang kekuasaan renumeratif ini.”
“Wach, wach, kalau begitu, selama ini
kita sesungguhnya berada dalam bayang-bayang kekuasaan ini, ya?”
Kataku.
“Betul-betul. Persoalannya, bagaimana
kita melawannya?” Tanya teman di sebelahku.
“Sabar-sabar, semua akan sampai pada
waktunya.”
Sore itu, obrolan belum berakhir.
Tetapi saya amit muncur, karena ada tamu yang hendak bertemu. Saya
ajak tamuku masuk ke ruang kerjaku, AC kunyalakan, dan saya tenggelam
berdiskusi dengan tamu baru itu.[]