Aku begitu salut sejak kenal pertama
kali dengan anak muda ini. Semangatnya begitu luar biasa untuk
membincangkan berbagai persoalan-persoalan sosial yang sepertinya tak
pernah habis di negeri ini. Belum lagi persoalan-persoalan alam yang
memang sungguh-sungguh tidak bisa diantisipasi maupun persoalan alam
yang sebenarnya masih bisa diantisipasi kejadiannya. Karena teramat
salutnya dan menaruh harapan kepadanya untuk bisa memiliki peran
lebih dalam membangun gerakan sosial yang khas, unik dan tidak
mengekor, saya selalu saja meladeni kehendaknya untuk ngobrol.
Petang ini, saat waktu kerja sudah
habis, menurut aturan formal tempat saya dan dia bekerja, diskusi
itupun kembali dimulai. Pertanyaannya sederhana, tetapi sungguh
membuat lelah untuk diobrolkan. Kekuasaan, itulah pertanyaan
pendeknya. Bayangkan saja, mereka yang sering disebut-sebut ahli
ilmu-ilmu sosial saja belum bisa merumuskan dengan jelas, malah kali
ini menjadi bahan obrolan. Tertatih, tapi kalimat demi kalimat pun
mulai meluncur tanpa beban. Sekenanya, saja.
Kekuasaan, kata teman mudaku itu,
merupakan situasi yang memungkinkan seseorang untuk melakukan
kehendaknya sendiri, bahkan ketika terjadi resistensi sekalipun dari
orang-orang lain. “Ini teori dasar yang diajukan Max Weber,”
katanya.
“Kenapa kau sebut dasar?”
“Karena memang gagasan ini akan terus
berkembang,” sahutnya. Teman mudaku ini, lalu mulai bercerita
tentang berbagai teori kekuasaan dengan fasihnya. Aku tidak peduli
apakah nama-nama yang disebutnya benar-benar merumuskan seperti yang
disampaikannya atau tidak. Bagi saya, gayeng saja, dan meladeni
ngobrol merupakan perbuatan baik.
Max Weber, katanya, juga membedakan
istilah otoritas dengan kekuasaan. Kalau kekuasaan untuk
memfaktualkannya diperlukan tindakan-tindakan langsung, sehingga
orang-orang yang melawan menjadi tunduk karena ketakutan akan
mengalami tindakan kekerasan yang digunakannya atau membiarkan tanpa
melawan. Otoritas sesungguhnya juga kekuasaan, tetapi ketundukkan itu
sudah seperti sebuah kerelaan dan bahkan sepertinya menjadi sebuah
keharusan. Rasa takut itu, sudah menghilang menjadi sebuah
keikhlasan.
“Wah, wah, tambah berat nech.
Kekuasaan yang ada istilah ikhlasnya, ya,” kataku sambil nyruput
wedang jahe gula batu. Nyamleng rasanya, dan memberikan kesegaran
pada seluruh saraf tubuhku. Akhirnya, kelopak mataku terasa melebar
kembali.
“Nah, pemahaman seperti inilah yang
oleh Robert Bierstedt kemudian dikembangkan dengan kategorisasinya
secara spesifik,” sambungnya. Aku hanya berdecak kagum sambil
bertanya, “maksudnya?”
Bierstedt, mengkategorisasikan
kekuasaan sebagai force yang bersifat laten, lalu force sendiri didefinisikan sebagai
kekuasaan yang manifes, mewujud dalam tindakan-tindakan nyata.
“Otoritas itu kekuasaan yang terinstitusionalkan,” katanya.
“Nah,
yang saya tidak tahu, ketika definisi-definisi ini dikaitkan dengan
persoalan ideologis. Bagaimana pembacaan sampean, Kang?”
Wealah,
sampai juga akhirnya giliranku bicara. Agak sedikit bingung juga
hendak mulai dari mana yang semestinya. Selintas saya mengingat nama
Johan Galtung. Lalu saya tanyakan kepada teman mudaku ini, “bagaimana
tentang Johan Galtung?”
“Dia
lumayan juga berbicara mengenai kekuasaan ini, Kang.”
“Lha,
iya, bagaimana katanya tentang kekuasaan?”
“Saya
belum begitu mendalami, Kang.”
“Galtung
ini mencoba mendefinisikan kekuasaan dalam beberapa model
kekuasaan,” kataku.
Galtung menyebut kekuasaan ideologis. Kekuasaan macam ini
diperoleh melalui ide-ide atau gagasan melalui proses-proses
kebudayaan dan bahasa sebagai medium pembentukannya. “Lha, kalau
gagal menggunakan unsur kebudayaan?” Tanyanya memotong.
Menurut
Galtung, legitimasi dan proses reproduksi kekuasaan ideologis memang
mempersyaratkan adanya kepatuhan dan ketundukkan dari
kelompok-kelompok sosial lainnya. Di sinilah, sesungguhnya perang
wacana untuk saling mengalahkan dalam memperebutkan kepatuhan publik.
Mereka yang mampu mendapatkan kepercayaan dari elemen sosial lain,
akan mampu mempertahankan atau menggantikan kekuasaan ideologis yang
sedang berkuasa. “Contohnya-contohnya?” Tanyaku.
“Mungkin…
soal…,” kata teman mudaku ragu.
“Alaaaah,
berpendapat kok mungkin.”
“Ancang-ancang,
Kang. Saya sedang mengingat-ingat peristiwa paling monumental di
negeri ini.”
“Apa
itu?”
“Saya
teringat, ketika Gus Dur mememutuskan Konghucu sebagai agama resmi di
negeri ini. Tentu saja dengan seperangkat peribadatannya.”
“Maksudnya?”
Tanyaku kali ini benar-benar dibuat bingung.
“Lha,
sampean bagaimana. Menurut saya, Gus Dur sedang memenangkan perang
wacana, perlawanan ideologis terhadap wacana dominan, yang hanya
menganggap lima agama yang diakui di negeri ini. Wacana lima agama
syah, khan sudah mendarah daging di negeri ini. Sampai diajarkan di
sekolah-sekolah sejak kecil, Kang. Buku-buku saja gambarnya hanya
lima tempat peribadatan. Gus Dur menurut saya menang bertanding
wacana, Kang.”
“Itu
khan karena Gus Dur jadi Presiden. Apa bedanya dengan Presiden
sebelumnya yang menetapkan lima agama syah di negeri ini?”
“Bedanya
sangat mencolok. Ketika dahulu kepatuhannya berbaur dengan ketakutan,
Kang. Takut diancam, takut dituding menentang Pancasila, takut
dianggap bukan warga negara yang baik, takut didor atas nama keutuhan
bangsa dan negara. Ada jenis kekuasaan lain yang bekerja, Kang.
Kalau
jaman Gus Dur, nggak bekerja jenis kekuasaan lainnya. Kalau ada yang
menentang tidak akan diapa-apakan, kok. Paling-paling hanya dituduh
sebagai orang yang tidak paham mengenai HAM. Orang yang tidak mau
belajar dan menghargai orang lain. “Paling itu saja,” katanya.
“Jenis
kekuasaan lain itu apa?” Tanyaku.
“Besok
lagi saja, Kang. Aku harus turun lapangan. Aku ada janji dengan
teman-teman di Alun-alun Kidul,” ujarnya sambil nyangklong tasnya.
Saya
masih duduk ketika teman mudaku ini meninggalkanku begitu saja. Tak
ada sapaan lain kecuali bilang, “saya duluan, Kang.” []