Kliwon merasa terhormat malam ini.
Bagaimana tidak, di ruang nongkrongnya setiap malam, sambil menghisap
rokok—tampaknya Kliwon belum mendengar ada fatwa yang mengharamkan
rokok di negeri ini atau memang tak mau mendengarkan—dirinya
kedatangan dua tamu dengan tiba-tiba. Dua anak muda, keduanya
laki-laki, mengucapkan salam dan hendak berbincang-bincang dengan
Kliwon. Alaaaaaah biyung, Kliwon yang tua renta itu, hendak diajak
berbincang dengan anak muda yang energik dan kreatif [?], bagaimana
bisa nyambung? Bagaimana bisa update? Tetapi, coba kita ikuti saja
apa yang hendak diomongkannya, apa yang hendak dibualkannya.

Degggg, denyut jantung Kliwon
benar-benar hendak berhenti. Sebab, dua tamunya itu mengatakan
dirinya sebagai calon legislatif untuk tingkat kabupaten. Berbagai
pikiran melintas-lintas dalam benaknya. Selayang cepat, memorinya
menghadirkan masa lalu, ketika ia masih begitu aktif dalam gerakan
golongan putih [golput] yang saat ini juga sudah diharamkan. Kini
dihadapannya, dua anak muda itu, tentu saja akan berharap untuk bisa
dipilih pada pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 mendatang. Lidahnya
terasa kelu, meski belum ada pertanyaan yang harus dijawabnya.

“Begini Pak Dhe,” kata salah satu
tamunya yang menggunakan baju koko warna hitam, berbordir kuning
keemasan di bagian dadanya. Kliwon tampak gelisah, beberapa kali ia
menghisap asap pemerpendek usia itu. Mengepulkannya. Berkali-kali
mencoba hendak membentuk lingkaran asap, tapi juga bisa.

“Mas Gugun ini khan hendak nyalon
DPR,” lanjut tamunya itu sambil menunjukkan teman di sebelahnya
dengan ibu jari. Wealah, baru calon saja, orang sudah menunjuk dengan
ibu jari. Setahu Kliwon, menunjuk dengan ibu jari itu, diperuntukkan
bagi mereka yang memiliki status sosial tinggi, seperti Sultan
gitulah.

“Lho, sampean nggak nyalon juga,”
sambung Kliwon seenaknya.

“Wah, kalau pangkat saya sech, baru
tim sukses saja, Pak Dhe.”

Jelaslah bagi Kliwon sekarang, siapa
yang calon legislatif dan siapa yang akan menjadi mesin penghasil
kesuksesan itu. “Namanya juga tim sukses, khan hasilnya harus
suskes,” bisik Kliwon dalam hati.

“Ya, ya, ya, sebentar ngobrolnya, ya.
Saya buatkan kopi dulu, biar ngobrolnya gayeng.”

“Emang istri Pak Dhe, sedang
tindakan?” Tanya Gugun.

“Wach, sampean bagaimana, masa
perempuan harus membuatkan kopi untuk ngobrol kita. Jangan-jangan
nanti para perempuan yang menjadi anggota legislatif juga hanya akan
membuatkan air minum ketika rapat Fraksi,” kata Kliwon sambil terus
menuju dapur.

Ada gurat penyesalan di wajah calon
legislatif itu. Menurut Wardoyo, si ketua tim sukses itu, dialog tadi
merupakan pembuka yang sangat buruk dalam proses negosiasi politik.
Tetapi, Wardoyo segera menemukan cara lain untuk memperbaiki situasi
tegang tadi. Sebagai orang yang sudah malang melintang dalam
penyuksesan berbagai level pemilihan Wardoyo tidak terlalu gentar.
Sudah banyak orang disukseskan, mulai dari ketua RT, Dukuh, Camat,
Bupati, BPD dan DPRD. Hal seperti itu, tentu saja soal sepele, soal
yang remeh temeh.

Meski begitu, ada sedikit ketegangan di
wajahnya, saat Kliwon sudah datang lagi dengan membawa baki berisi
tiga gelas kopi. Auranya, begitu menggoda rasa. Maklum, kopi yang
dibuat Kliwon itu memang tidak diberi campuran apapun. Apalagi
campuran susu, bukan tidak suka, tetapi memang Kliwon tidak memiliki
susu sama sekali. Seminggu ini, sudah habis persediaannya. Maklum,
beberapa keponakan yang jumlahnya sudah mencapai lusinan itu baru
saja datang bertandang.

“Sialakan, kopinya,” kata Kliwon
kepada tamunya, yang disambut dengan anggukan kepala bersamaan meski
tanpa ada komando dari siapa pun.

“Kami datang ingin ngobrol saja ini,
Pak Dhe,” kata Gugun dengan suara rendah.

“Ya, ya. Bagaimana persiapan akan
menjadi anggota DPR?”

“Mas Wardoyo ini yang sudah bekerja
keras.”

“Nggak juga, Pak Dhe, saya khan hanya
bantu-bantu saja,” sahut Wardoyo menimpali Gugun.

“Nah, menurut Pak Dhe, kira-kira ada
strategi yang jitu nggak untuk memenangkan Pemilu besok ini?” Tanya
Wardoyo langsung ke persoalan yang hendak diketahuinya. Kliwon memang
cukup dikenal sebagai ahli merancang strategi, ahli merancang gerakan
rakyat. Memang tak salah dua anak muda ini mendatangi Kliwon.
Persoalannya, paling-paling Kliwon sedang enak hati atau tidak, itu
saja. Kalau perasaannya sedang longgar, ia bisa ngomong apa saja,
tinggal bagaimana lawan bicaranya mampun merangkumnya, merumuskan
secara sistematis dan berhasil menang. Tetapi kalau rasa hatinya
sedang sumpek, ya, Kliwon biasanya hanya menimpali a-i-u-e-o saja.

“Saya ini sudah tua, sudah tertinggal
dengan berbagai strategi. Saya hanya bisa mendoakan semoga saja
kalian bisa berhasil,” kata Kliwon enteng.

“Wah, Pak Dhe jangan merendah
begitu,” kata Wardoyo yang merasa prosesnya memang tidak akan
ciamik ini.

“Bukan merendah, ya, tetapi memang
saya ini rendah khan,” kata Kliwon sambil tertawa lebar, sampai
gigi ompongnya terlihat jelas, hitam terkena nikotin.

“Kita sudah melakukan banyak hal, Pak
Dhe,” kata Gugun.

“Misalnya?”

“Kita sudah masang berbagai potret
Mas Gugun di berbagai tempat strategis. Bahkan gambar mbahnya yang
kiai besar di Kabupaten ini juga ikut ditempelkan,” kata Wardoyo.

“Oh, ya. Saat sekarang ini memang
banyak photo dipasang ya. Saya sampai bingung, mana photo calon dan
mana photo moyang mereka, photo kiai mereka.”

“Saya juga bingung, bagaimana orang
seperti saya hanya disuguhi gelar-gelar yang berderet, baju-baju
mewah dan wajah-wajah yang tersenyum penuh gembira. Sementara kami
ini, mencari makan saja sulit, minyak tanah melambung tinggi,
kebanjiran dan terkena penyakit kulit.”

“Saya juga tak mengerti, apa
sebenarnya yang sedang hendak diperjuangkan untuk rakyat seperti saya
ini, sementara kami hanya disuguhi gambar yang teramat sangat gagah
itu.”

“Lalu, bagaimana baiknya, Pak Dhe?”
Tanya Gugun.

“Nggak ada yang baik. Sebab, nalar
yang digunakan dengan menggunakan straetgi gambar, spanduk dan
sebagainya itu khan nalar iklan komersial. Nggak ada iklan yang tidak
menipu. Nggak ada iklan yang dirancang untuk jujur, yang ada untukm
menggiurkan.”

“Semua adalah strategi manipulatif,
yang hanya menyesatkan saja.”

“Tidak lebih dan tidak kurang.”
Bingung nian kedua tamu Kliwon itu. Tak bisa menebak apa yang paling
tepat untuk memulai berdiskusi. Mungkin memang suasana hati Kliwon
sedang tidak longgar.

“Yang tidak menipu itu bagaimana?”
Tanya Wardoyo?

“Kalau saja ada calon yang dengan
jujur mengatakan, GOLPUT itu merupakan hak, pasti akan saya pilih
dalam coblosan nanti,” kata Kliwon enteng.

Dialog malam ini tetap tidak lancar.
Sampai dua tamu itu berpamitan dengan nada yang amat gusar, tak juga
bisa cair. Kliwon memadang dua tamunya yang pergi meninggalkan ruang
tongkrongannya. Hatinya tersenyum. Tak ada yang bisa memaknai
senyumnya itu. Soalnya, hanya dalam hati.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *