Kesehatan Reproduksi dan Seksual: pencarian dalam rimba raya multikulturalisme

Sangat pagi-pagi sekali, ketika di tahun 1986, PKBI sudah memberikan isyarat mengenai kemungkinan terjadinya kasus HIV di Indonesia. Peringatan yang dianggap aneh, dan bahkan Departemen Kesehatan RI pun menampik adanya kemungkinan yang dilontarkan itu. Kemampuan menjantra yang cukup apik ini, memang tidak saja dalam kasus HIV dan AIDS, ketika setahun kemudian, 1987 terdeteksi untuk pertama kalinya, satu kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Sejak awal didirikannya, PKBI sudah menempati posisi yang ‘nganeh-anehi’. Bagaimana tidak, manakala hampir semua elemen bangsa ini tidak memikirkan soal tingginya angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan, para pendiri PKBI, 1957, sudah membicarakan dan memperjuangkannya dengan konteks ‘keluarga berencana’. Agenda gerakan yang diorientasikan untuk menyelamatkan jiwa perempuan, yang diakibatkan oleh proses reproduksinya yang terberi, tetapi justru karena itu menjadi terabaikan dan tak terpikirkan.

Menyadari keselamatan jiwa perempuan harus menjadi tanggung jawab negara, di akhir tahun 70-an, PKBI mendesakkan gagasan perlindungan jiwa perempuan ini kepada negara. Usulan ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya Lembaga Keluarga Berencana (LKB) yang kemudian hari dikembangkan menjadi BKKBN. Sayangnya, warna operasionalnya menjadi bergeser jauh, karena KB dalam watak negara, justru menjadi alat kontrol ‘pertumbuhan penduduk’, dan perempuan yang kemudian menjadi tumbalnya. Sebuah pertentangan yang amat sangat biner, ‘gerakan yang semula’ dengan hasil advokasi–saya kira dulu tidak menggunakan terma ini–sehingga terlembagakannya gerakan KB di Indonesia.

Berbagai ritme pengembangan gagasan dan strategi dalam menjalankan programnya, memberikan banyak pengalaman dan pelajaran berharga bagi Perkumpulan. Manakala mempercayai adanya segmentasi aktivitas NGO yang bermula dari charity, community development dan advocay, Perkumpulan telah melakukannya, tersegmentasi maupun secara terpadu dalam nalar advokasi–maksudnya, tidak hanya pada kerja-kerja pengorganisasian pada level komunitas, tidak hanya kerja-kerja kampanye dengan instrumen media, dan tidak hanya melakukan kerja-kerja pada ranah kebijakan-kebijakan publik.

Apa yang Bisa Ditemukan?

Gerakan pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual, seringkali mengambil ruang yang sangat sempit, hanya sehat fisik yang bertalian dengan soal sistem, fungsi dan organ reproduksi. Pemahaman yang sempit ini, mengakibatkan perlindungan kesehatan reproduksi dan seksual, terperosok pada penempatan persoalan yang ada dalam ruang ‘medis’ semata-mata. Nalar ini, pada akhirnya menempatkan manusia sebagai obyek dari agenda-agenda perubahan sosial dan menempatkan problemnya pada diri manusia itu sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, PKBI juga terjebak dalam alur nalar yang demikian, dengan mengambil bentuk model services and education. Sebuah model gerakan yang disadari atau tidak disadari, sedang meletakkan berbagai persoalan yang dihadapi merupakan problem manusia itu sendiri. Ketika HIV tertransmisikan kepada seorang perempuan, misalnya, setidaknya dua hal yang langsung muncul dan dialamatkan kepadanya. Pertama, keterbatasan ekonomi untuk melakukan test dan perawatan kesehariannya, sehingga membutuhkan uluran tangan untuk memberikan bantuan. Kedua, keterbatasan informasi mengenai HIV dan AIDS, sehingga mereka membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya.

Model semacam ini–juga akibat dari cara pandang yang sama dalam segmentasi gerakan pemenuhan hak rakyat kebanyakan–melahirkan keterpisahan gerakan, walaupun sesungguhnya memiliki keterkaitan persoalan di sana-sini. Bahkan karena ketatnya pendisiplinan isu dalam gerakan masing-masing, meskipun yang menghadapi persoalan adalah perempuan, tetapi karena dirinya terkategorisasikan secara bermacam-macam, perempuan miskin, difabel, melahirkan anak, tinggal dijalan, menjadi sulit sekali mencari dukungan untuk dirinya dari berbagai lembaga yang ada. Masing-masing mengembangkan instrumen-instrumen spesifik untuk memberikan bantuannya.

Persoalannya menjadi tambah rumit, manakala konteksnya dikembangkan bagi kalangan pekerja seks, waria, gay dan lesbian. Dehumaniasi terjadi besar-besaran, peminggiran terus-menerus dilakukan dengan mengatasnamakan eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Perempuan yang dianggap sebagai makhluk ‘kelas kedua’ harus mengalami eksploitasi dalam berbagai aras hidupnya. Kelompok diffabel atas nama kesempurnaan manusia, pantas pula untuk dikesampingkan. Orientasi seksual sejenis, harus dilenyapkan karena eksistensi kemanusiaan yang sempurna dan benar adalah mereka yang berorientasi seksual berbeda jenis.

Apa yang Hendak Dilakukan?

Menyikapi temuan-temuan dalam pemenuhan hak reproduksi dan seksual ini, berbagai diskusi dilakukan secara intensif dengan melibatkan banyak pihak untuk bisa merumuskan nalar dan strategi yang lebih tepat. Rekomendasi yang dianggap sesuai dalam konteks gerakan pemenuhan hak reproduksi dan seksual kemudian diskemakan dan hendak dijadikan kerangka kerja strategis Perkumpulan.

Secara glondongan, rekomendasi ini bisa dipresentasikan ke dalam beberapa bagian penting. Pertama, persoalan kesehatan reproduksi dan seksual, merupakan manifestasi dari relasi kuasa timpang yang tidak semata-mata dalam format oposisi binner, melainkan sebuah jaring-jaring kuasa yang saling menopang dan melanggengkan. Ketika seorang perempuan tertransmisi virus penyebab AIDS, tidak bisa dipandang karena ketidakmampuan perempuan untuk melindungi dirinya dari virus ini, melainkan karena ketidakberkuasaan mereka untuk menolaknya. Dalam studi yang melibatkan 1,366 perempuan yang mengakses layanan di pusat kesehatan, menunjukkan mereka yang didominasi secara emosional dan finansial berkemungkinan 52% lebih besar ketimbang perempuan yang tidak hidup dalam suasana dominasi seperti ini.

Kedua, meneguhkan kembali komitmen awal, subyek perubahan sosial adalah rakyat kebanyakan itu sendiri. Komunitas Eben Ezer, misalnya, sebuah komunitas kaum miskin kota yang bekerja di sekitar kawasan stasiun kereta api lempuyangan, mereka mampu melakukan tuntutan terhadap layanan kesehatan dasarnya, tanpa harus diperjuangkan sebuah NGO tertentu. Kehadiran NGO semata-mata lebih bersifat asistensi nalar dan teknis kerja-kerja mereka, selebihnya mereka melakukannya sendiri. Walhasil, saat ini mereka sudah memegang kartu asuransi Jamkesmas (?) berbasis personal,  yang berlaku secara nasional. Mereka juga mampu melakukan negosiasi anggaran untuk mengembangkan usaha-usaha produktif, yang tidak saja akan berguna bagi situasi darurat, tetapi terlebih lagi untuk saling membantu sesama.

Ketiga, memastikan posisi perjuangannya pada ruang gerakan atau perjuangan identitas. Pengalaman menunjukkan berbagai persoalan yang dihadapi komunitas mitra strategis PKBI sesungguhnya berakar pada pengabaian identitas mereka dalam kehidupan sosial-keseharian. Perjuangan idenitas akan mampu membangun solidaritas dan tindakan strategis secara kolektif lainnya dalam menuntut pemenuhan hak reproduksi dan seksual. Penolakan terhadap orientasi seksual sesama jenis, sesungguhnya sedang menunjukkan adanya pengabaian identitas homoseksual oleh mereka yang berorientasi heteroseksual. Dengan demikian, perjuangan identitas dalam kerangka ini, tidaklah cukup pada nalar identitas sosial dan politik, sebagaimana seringkali didiskusikan selama ini. Ia menjadi lebih luas dan lebih kompleks gerakannya.

Ancang-ancang

Tiga rumusan pendek dan sederhana, bahkan mungkinn juga sesuatu yang tidak baru sama sekali–hanya mungkin sedikit mengagetkan barangkali–ketika jawaban yang diambil adalah mencoba memasuki wacana multikulturalisme, sebuah medan mainstream yang di dalamnya, justru mengabaikan adanya identitas-identitas baru. Kajian-kajian multikulturalisme di Indonesia, misalnya, sebagian besarnya masih berkutat pada nalar mayoritas dan minoritas, baik suku, agama, maupun etnik di seantero nusantara ini.

Pada sisi lain, hendak dibangun blok sosial baru yang akan menjalankan kerja-kerja politis sebagai bentuk dari tindakan-tindakan kolektif yang berakar pada kehendak-kehendak komunitas itu sendiri.

Kita menyadari berbagai pertarungan akan bersimpangsiuran dari pilihan yang dilakukan ini. Hanya saja, kita juga meyakini, manakala pilihan itu memang memiliki basis pengalaman yang jelas, lanjutannya akan bisa dirumuskan secara bersama-sama. Melalui forum inilah, kita hendak mencaritahu lebih banyak, bagaimana kemungkinan menurunkan kehendak-kehendak yang bagi kami hampir mirip aras imajiner, ketimbang sebuah temuan-temuan yang operasional.

Saat ini, kita sudah mulai dengan arus paling dasar yang konon katanya selalu diperjuangkan oleh siapapun, soal ‘pengetahuan’. Kita meneguhkan kembali cara pandang pengetahuan ini, dengan memastikan sebagai sebuah proses yang lahir dari sekian banyak kanal-kanal informasi intersubyektif. Pengetahuan harus dijauhkan dari nalar ‘otoritatif’, sebuah cita-cita yang tidak sederhana untuk mewujudkannya, karena kita masih terlalu sulit untuk membedakan antara kepatuhan atas dasar kesepuhan ‘seorang profesor’ dan kepatuhan terhadap teori pengetahuan yang dianutnya.

Kita memimpikan, hadirnya pemilik teori di tengah-tengah pemilik pengalaman hidup, merupakan proses dialog kebudayaan intersubjektif, untuk menemukan pengetahuan baru yang menjadi milik bersama antar subjek dialog. Secara sederhana, bisa dikatakan sebagai sebuah teoritisasi pengalaman untuk menjadi pengatahuan baru, yang kepemilikannya menjadi publik. Bukan semata-mata nalar ‘representasi’, ketika seseorang berbicara seperti si tertindas, atau memberi suara (aneh, ya) kepada mereka yang terbungkam, seakan-akan seluruh sepak terjangnya merupakan wujud dari nalar si tertindas. Dalam konteks inilah kita akan bisa melihat adanya sebuah situasi dinamis, menyejarah dalam keseluruhan ruang dan waktu. Sebuah proses yang tidak akan mematikan ekspresi-ekpresi kultural antar subyek kultural.

Pemaknaan terhadap dialog-dialog kultural inilah, pada awalnya yang mendorong kita untuk memasuki kegelapan multikulturalisme yang kono tak juga rampung untuk menjawab persoalan-persoalan di Indonesia dan bahkan sebagiannya meragukan ketepatannya. Sebuah pemahaman yang sangat sederhana, dengan semangat multikultrualisme memungkinkan kita untuk membangun kerjasama, kesederajatan dan saling memberikan apresiasi antar subyek di tengah-tengah perkembangan sosial yang makin kompleks.

Intersubjektif, lantas kita pahami sebagai identitas-identitas kultural yang terus menerus saling berinteraksi, berdialog, bernegosiasi dengan kehendak untuk sebuah kebaikan bersama. Sebuah semangat normatif, yang kadang-kadang kita sendiri menertawakannya, tergelak-gelak, lalu coba direnungkan kembali. Ketergelakkan terhadap sebuah realitas itu sendiri, menjadi batu kritik tajam, karena bersumber dari nalar pengabaian itu sendiri.

Di sinilah identitas mulai didiskusikan secara serampangan saja. Berpijak pada apa yang kita alami dan apa yang dirasakan selama ini.  Ketika kita hendak membawa identitas kultural ini tidak semata-mata identitas sosial–yang paling kuat didiskusikan soal kelas, ras, etnis dan jender [yang ini lebih pada ‘role’] dan seksualitas [yang ini serius di Indonesia masih terpinggirkan]–dan identitas politik–biasanya soal nasionalisme dan kewarganegaraan]. Identitas sosial menggambarkan posisi subjek dalam relasi dan interaksi kulruralnya, sedangkan identitas politik menempatkan posisi subjek dalam suatu komunitas dan secara bersamaan menjadi penanda adanya pembedaan dengan yang lain. Pada operasi kerja inilah, kemudian melahirkan politik pengakuan, yang berkuasa melakukan hegemoni atas lainnya dan secara terus menerus memproduksi piranti-piranti pengetahuan untuk melanggengkan kuasanya. Melalui kuasa inilah mereka yang tidak memiliki ‘power’ akan diperangkap dalam ruang-ruang yang tidak menguntungkan.

Tentu saja, kita bendak kaluar dari kerumitan ini, membebaskan identitas-identitas yang ada sebagai sumberdaya mobilisasi politik idenitas. Soalnya, bagaimana kita memungkinkan untuk membangun kategorisasi identitas tidak semata-mata polarisasi idenitas sosial dan identitas politik, yang secara inheren mengandung potensi untuk dihancurkan sebagai korban bagi kepentingan-kepentingan politik identitas yang juga ada di dalamnya.

Setidaknya kita kita hendak membangun mekanisme ‘perlawanan’ terhadap hegemoni kekuasaan melalui mekanisme perjuangan identitas. Penguatan budaya resistensi. Nalarnya, perjuangan identitas ini akan menjadi kuat karena ia akan menjadi pijakan bagi terbangunnya tindakan kolektif. Karena identitas seseorang memang tidak terlepas dari kesadaran kolektivitas. Melalui identitas ini, seseorang merasa memiliki dan berbagi dengan lainnya. Soalnya, ketika terjadi formulasi keperbedaan dengan identitas yang lain (the others), tidak memunculkan pemaksaan-pemaksaan.

Seluruh proses dekonstruski kultural dan rekonstruksinya, sejak awal harus menggunakan perspektif jender, seksualitas dan HAM [P], sehingga akan menjamin sistem sosial baru yang dilahirkan menjadi adil bagi semua.[]

Catatan: Dipresentasikan dalam Diskusi Publik “Multikulturalisme dan Perjuangan Identitas”, dalam Peringatan Hari Ulang Tahun PKBI DIY, 24 Januari 2009.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *