Hiruk-pikuk
peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS), 1 Desember 2008 telah usai.
Tetapi dampaknya masih terasa sampai hari ini, terutama berkaitan
dengan salah satu agenda dalam peringatan HAS, kampanye penggunaan
kondom. Sebuah perdebatan yang selalu saja terulang, dengan isi yang
tetap sama dari tahun ke tahun. Pertanyaannya, kenapa debat semacam
ini terus saja terulang? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini yang
hendak coba dikuak dengan menelusuri akar problemnya.

Makna penting
menjawab pertanyaan di atas, berkaitan dengan adanya kebuntuan dialog
antar dalam memahami fungsi dan efektitas kondom sebagai alat
pencegahan transmisi HIV. Sebagaimana dipahami bersama, antar pihak
sudah saling mengajukan argumentasi berdasarkan riset akademis
mengenai efektivitas kondom: temuannya sama-sama memiliki pijakan
untuk mengatakan efektif dan tidak efektif penggunaan kondom. Debat
tidak akan berkesudahan, karena antar pihak nyata-nyata memiliki
pendekatan yang berbeda dalam melihat kondom itu sendiri. Alternatif
wacana meski dimunculkan sebagai jalan baru untuk mendialogkan
kembali secara terbuka dan produktif.

Pendekatan yang Ada

Mengikuti perdebatan
kampanye penggunaan kondom, kita bisa memilah ke dalam dua pandangan
besar, yang pada akhirnya mengerucut pada pertentangan wacana.
Pertama, pandangan yang
memosisikan HIV dan AIDS sebagai fenomena medis belaka. Pandangan ini
melihat, upaya pencegahan transmisi HIV dan AIDS bisa dilakukan
dengan mengubah berbagai perilaku berisiko menjadi lebih aman dan
sehat dalam ukuran-ukuran medis. Berbagai strategi dimunculkan
sebagai bentuk turunan dari pandangan ini. Misalnya, pencegahan
transmisi bisa dilakukan manakala setiap orang terhindar dari
perilaku berisiko, antara lain, selalu menggunakan kondom manakala
melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan
(multi-partners). Tidak berganti-gantian jarum suntik dengan temannya
manakala mengkonsumsi drug. Mengikuti terapi atau program PMTCT bagi
perempuan terinfeksi HIV saat mengandung. Dan mendapatkan jaminan
dari provider, manakala melakukan transfusi darah. Kondom, dalam
konteks ini ditempatkan sebagai medium pencegahan bagi mereka yang
berganti-ganti pasangan, dan benar-benar yakin atau tidak yakin
status dirinya atau pasangannya (salah satu di antara mereka) positif
terinfeksi HIV.

Kampanye
penggunaan kondom, dengan demikian, menemukan justifikasi
kebutuhannya, karena nyata-nyata berbagai riset membuktikan
efektivitas kondom dalam mencegah terjadinya transmisi virus.
Kampanye penggunaan kondom pada akhirnya sedang menuju pada perubahan
perilaku sehat dan aman dalam melakukan hubungan seks dalam arti,
bisa menghindarkan penularan virus di antara pasangan.

Kedua, pandangan yang memosisikan HIV dan AIDS sebagai fenomena moralitas
belaka. Pandangan ini melihat, upaya pencegahan HIV dan AIDS bisa
dilakukan dengan cara mengubah perilaku berisiko dengan menghindarkan
diri sama sekali dari berbagai perbuatan yang dituding sebagai ruang
terjadinya transmisi virus dengan standard-standard moralitas.
Berbagai kerangka startegi dimunculkan dengan melakukan
penghapusan-penghapusan berbagai tindakan yang melanggar nalar
moralitas. Misalnya, karena prostitusi dalam doktrin moralitas
dinilai sebagai perzinaan yang dilarang agama, maka perzinaan dalam
praktek prostitusi harus dihapuskan, para pengguna narkotika—suntik
dan bukan suntik harus dihapuskan, homoseksualitas harus dimusnahkan
dan seterusnya.

Kampanye
penggunaan kondom, dengan demikian, menemukan justfikasinya untuk
ditolak. Nalarnya, penyebaran kondom secara bebas, justru akan
menyuburkan terjadinya hubungan seks bebas, baik dengan alasan
mencegah terjadinya transmisi maupun kehamilan yang tidak
dikehendaki. Pandangan ini juga mampu menunjukkan berbagail riset
yang nyata-nyata menunjukkan ketidakmampuan kondom untuk mencegah
transmisi virus dari satu orang ke pasangannya. Karenanya, penggunaan
kondom, pada akhirnya, hanya jatuh pada ruang mendorong terjadinya
perzinaan secara besar-besaran di negeri ini.

Alternatif
Pemikiran

Kiranya,
saat ini, dibutuhkan alternatif pandangan yang tidak saja keluar dari
kebuntuan dialog, tetapi juga mampu menyatukan pemahaman dari dua
pandangan yang berbeda. Dalam kerangka ini tentu saja tidak cukup
hanya pada diskusi mengenai perubahan metode maupun strategi dalam
mengkampanyekan penggunaan kondom maupun penolakan kampanye
penggunaan kondom. Misalnya, kampanye kondom tetap dilakukan, tetapi
tidak secara sembarangan, wilayahnya sudah ditentukan, dilakukan
dengan cara tertutup dan lain sebagainya. Simpulan semacam ini, tentu
saja hanya akan dianggap sebagai menguntungkan satu pihak belaka.

Jalan
pemikiran yang hendak dikembangkan sebagai alternatif adalah
meletakkan HIV dan AIDS tidak semata-mata sebagai fenomena medis dan
tidak juga semata-mata sebagai fenomena moralitas. Dekonstruksi cara
pandang ini, meletakkan HIV dan AIDS sebagai fenomena sosial, yang di
dalamnya tidak saja mencakup soal problem medis dan nilai-nilai
moral, melainkan sebagai problem sosial yang bergandeng renteng
dengan sisi kehidupan yang lain, seperti ketidakadilan sosial,
seperti kemiskinan, kebudayaan yang diskriminatif, kekuasaan yang
timpang, dan rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan ketersediaan
informasi yang memadai.

Manakala
memasuki wacana HIV dan AIDS sebagai problem sosial, mendiskusikan
soal prostitusi yang dianggap sebagai perilaku berisiko dari cara
pandang media dan dianggap perzinaan dari cara pandang moralitas,
tidaklah cukup dengan kampanye penggunaan kondom dan gerakan-gerakan
penghapusan prostitusi semata-mata untuk mencegah terjadinya
transmisi HIV dan AIDS. Strategi yang dilakukan haruslah
komprehensif, menyentuh sendi kehidupan sosial lainnya. Bisa mulai
dengan melakukan pembaruan ekonomi sehingga tidak melahirkan kelompok
lain yang dimiskinkan, dekonstruksi kebudayaan, sehingga tidak
berkembang nilai-nilai tradisi yang menempatkan satu pihak lebih kuat
dari pihak yang lain, pembaharuan sistem politik, sehingga memberikan
ruang yang lebih substantif, tidak semata-mata anutan demokrasi
prosedural.

Pendekatan
wacana semacam ini yang harus terus menerus dikembangkan, ditemukan
landasan teorinya dan mekanisme operasionalnya. Simpulan-simpulan
teori, strategi dan mekanisme operasionalnya, akan mengantarkan pada
gerakan bersama seluruh elemen sosial dengan beragam latar belakang
untuk terlibat dalam upaya-upaya pencegahan transmisi HIV dan AIDS.

Tanpa
melalui proses pengembangan alternatif semacam ini, debat
berkepanjangan ini akan terus terjadi dan bahkan hampir bisa
dikatakan tidak akan menemukan kata sepakatnya dalam menyikapi
transmisi virus yang terus menerus menigkat setiap tahunnya. Kerugian
dari seluruh sisi sosial juga akan terjadi, akibat kematian-kematian
yang ditimbulkan akibat AIDS. Ketersediaan generasi yang berkualitas
di masa depan juga akan menjadi persoalan serius.

Pada
akhirnya, negara harus mampu menyelesaikan berbagai persoalan sosial,
membangun gerakan bersama dengan melibatkan berbagai elemen sosial.
Dengan demikian, akan sampailah pada suatu simpulan, HIV dan AIDS
akan menjadi persoalan bersama, manakala terjadi dekonstruksi cara
pandang dari pandangan medis semata-mata, moralitas semata-mata ke
pandangan baru, HIV dan AIDS merupakan problem sosial yang berkait
erat dengan sistem relasi kuasa yang timpang. Cara pandang ini,
secara otomatis, akan mampu menggerakkan seluruh potensi sosial untuk
terlibat dalam agenda-agenda pencegahan HIV dan AIDS, dengan
peran-peran masing-masing, bukan malah saling menghancurkan dan
menghalangi. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *