Novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS), dikembangkan tidak semata-mata berdasarkan imajinasi penulisnya dalam ruang hampa. PBS merupakan hasil sebuah pengembangan imajinasi berdasarkan perjalanan panjang kajian isu-isu kesehatan reproduksi perempuan di pesantren yang melibatkan 25 pesantren di Jawa Tengah dan DIY. Periode kajian ini, melampau waktu yang cukup panjang, 24 bulan lamanya, dengan membahas 7 isu penting yang menjadi sorotan dalam dunia pesantren pada rentang waktu 1998-2001. Penulis novel ini, dengan rajin–kira-kira begitulah–membaca seluruh dokumen kajian ini, dan tentu saja mengembangkan bacaan lainnya, sebelum melakukan diskusi-diskusi awal mengenai seperti apa sesungguhnya sebuah novel yang dirancang sejak awal sebagai alat penyadaran publik dan media advokasi dalam penguatan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan di kalangan pesantren. Karenanya menjadi tidak heran, novel ini kemudian diberi judul PBS, yang menunjukkan sejak awal sudah hendak menjungkir-balikkan tatanan awal dalam tradisi pesantren. Menguak secara gamblang berbagai perempuan akibat ketidakadilan jender dan menunjukkan secara kuat, tubuh adakah milik perempuan itu sendiri, dalam wacana hak-hak kesehatan reproduksi. Kekuatan novel semakin bertambah, karena sang penulisnya adalah orang ‘jebolan’ pesantren juga, sehingga bisa menunjukkan titik-titik kekhasan pesantren, seperti menyebutkan jenis-jenis irama dalam tilawatil qur’an, ‘bayati, husaini dan hudaifi.’ Atau juga menunjukkan kepahamannnya mengenai ilmu sharaf, dengan mengutipkan juga hafal-hafalan yang dalam tradisi pesantren disebut tasrifan atau nama-nama kitab-kitab yang ditulisnya dengan fasih. Ini adalah bentuk gugatan orang dalam, terhadap nilai-nilai yang juga telah membesarkannya.
Konstruksi Peran Jender
Sebagaimana luas dipahami, peran jender laki-laki dan perempuan, merupakan proses konstruksi budaya yang berbeda-beda dalam rentang waktu dan geografis. Novel ini menggambarkan dengan jelas bagaimana proses pembakuan peran jender dalam tradisi keluarga pesantren juga terjadi, hampir tidak berbeda dengan kehidupan di luar pesantren. Pembakuan peran jender juga dilakukan melalui lembaga pendidikan. Meskipun terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam catatan sejarah Islam, pembakuan peran ini terus saja berlangsung dan dipaksakan untuk diterima. Perempuan pun, yang terus terkungkung dalam budaya lanang ini, turut serta melakukan pembakuan jender, karena perempuan yang baik, perempuan yang juga melakukan apa yang dikerjakannya selama ini. Pikiran bocah bernama Anisa–tokoh sentral novel PBS, putri Kiai Haji Hanan Abdul Malik, menjadi gulanah. Bagaimana tidak, dirinya dilarang belajar menunggang kuda, karena dinilai tidak pantas, karena dirinya perempuan, tetapi dirinya mengetahui bagaimana dalam epos kesejarahan Islam terdapat nama-nama yang begitu pandai menunggang kuda. Bagaimana rumusan-rumusan peran yang didendangkan oleh Pak Guru di sekolah, sama miripnya dengan yang dinasehatkan ibunya. Bahkan dalam buku bacaan pun, turut menggambarkan pembakuan peran jender ini secara intensif.
Gugatan terhadap pelabelan negatif jender perempuan berbasis teks juga mendapatkan kritikan serius. PBS mempertanyakan menganai doktrin-doktrin tentang identitas perempuan, misalnya, ketidaksempurnaan akal perempuan dan ketidaksempurnaan agamanya. Contoh-contoh aktual berhamburan, seperti petasan yang meledak bersusul-susulan, tiada hentinya. Pada batas ini, sungguh-sungguh, kita akan merasakan seperti sedang membaca terjemahan kitab “Riyadh ash-Sholihin”.
Konstruksi lain yang diangkat dalam PBS adalah soal ketika perempuan tidak memiliki anak. Dalam diskusi ini, kita akan terdampar dalam dialog-dialog yang lebih bermuara pada asumsi-asumsi tradisi Jawa, mengenai perempuan yang tidak memiliki anak. Setidak-tidaknya, ternacam dipoligami dan dalam nasib yang lebih baik akan diceraikan. Celakanya, nilai-nilai ini juga diadopsi oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pendek kata, keseluruhan manisfestasi ketidakadilan jender terkupas tuntas, menyebar-sebar di sana-sini.
Jilbab: Pandangan Keragu-raguan
Meski terasa yakin benar, dalam menggugat konstruksi peran jender perempuan dan laki, memasuki diskusi wacana jilbab, terasa adanya keragu-raguan. Meski merupakan hak tersendiri penulis menyampaikan pandangan-pandangannya, tetapi cukup bermasalah dalam mengajukan gagasan-gagasan mengenai jilbab ini. Misalnya, Lek Khudori memberikan argumentasi, jilbab sebagai salah satu upaya menghindari pelecehan seksual. Juga lupa mengkritisi ketika mengutip alquran dengan mengatakan ” … yang demikian itu (berjilbab) agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu”. Pertanyaannya, sebagaimana sering didiskusikan, apakah mereka itu, semua perempuan, atau mereka adalah istri nabi? Tafsiran semacam ini, memang agak sedikit bermasalah dalam wacana kekerasan terhadap perempuan, karena bisa-bisa terjerumus dalam penyalahan kembali korban.
Kekerasan Seksual, Terjadi Tanpa Batas
Pembongkaran terhadap kekerasan sebagai salah satu manifestasi ketidakadilan jender, sudah diungkap sejak pagi-pagi dalam PBS. Pelecehan seksual yang dialami Nisa, dilukiskan sejak awal dialami, seperti yang dilakuakn oleh Lek Mahmud, adik kandung bapakanya. Kemudian pelecehan yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolahnya, Pak Joko. Kemudian pelecehan itu juga dilakukan laki-laki tak dikenal, ketika Anisa dan Aisyah hendak menonton film di bioskop. Kekerasan ini, terus berlanjut bahkan kini dilakukan oleh suaminya sendiri, Samsuddin. Statamen kontroversial sudah muncul dalam PBS, dengan menyebut ‘perkosaan’. Sampai saat ini, masih menjadi isu hangat untuk membicarakan masalah perkosaan dalam perkawinan. PBS menunjukkan bagaimana bentuk kekerasan yang dialami Annisa, tidak saja psikis, fisik, tetapi juga seksual. Siksaan demi siksaan dialami oleh Annisa, bahkan sampai tindakan menghadirkan perempuan lain ke dalam rumah mereka, dan melakukan poligami.
Persoalan Memilih Jodoh
Persoalan hak reproduksi dan seksual yang dibongkar dalam PBS adalah soal memilih jodoh. Annisa kembali melakukan dialog-dialog soal hak memilih jodoh dengan lek Khudori. Gugatan sampai pada konsep wali yang memiliki hak ijbar atas anak gadisnya. Penolakan terhadap hak ijbar, dilakukan dengan argumentasi hak kemerdekaan dalam Islam. Tentu saja, hal ini akan menjadi kontroversial, jika dilanjutkan dengan gugatan mengenai keberadaan wali itu sendiri bagi perempuan. Tetapi tampaknya, kita belum bisa menemukannya dalam PBS.
Persoalan Menikamti Seks
PBS secara gamblang juga menceritakan perdebatan mengenai hak seksual, dengan menunjukkan siapa sebenarnya yang berhak mengajak terlebih dahulu dalam melakukan hubungan seks. Untuk meninggikan derajat laki-laki, perempuan diajarkan untuk menjadi pemalu dan sabar menunggu. Tetapi, Annisa, selama masa perkawinannya dengan Samsuddin, sama sekali tidak pernah memiliki peluang untuk mendapatkan hak menikmati seks ini. Ketika dalam perkawinan dengan Lek Khudori, Annisa merasa bisa menikmati seksnya, tidak saja menceritakan bagaimana relasi seksual yang terbangun, tetapi juga bagaimana etika seksual dalam Islam ditunjukkan, misalnya, dengan lantunan doa khusus.
Persoalan Menyusui
Menyusui, dalam pandangan yang umum, dilekatkan sebagai bagian dari kewajiban istri. Bahkan, tradisi di Afrika, misalnya, menyusui anak menjadi salah satu kriteria perempuan yang baik. PBS mencoba menjelaskan secara tegas, menyusui adalah hak, bukan kewajiban. Artinya, perempuan berhak untuk menyusui atau tidak menyusui anak, bahkan anak kandungnya sendiri. Eksplorasi ini bisa jadi berargumentasi dalam tradisi Arab, yang dilanjutkan dalam tradisi hukum Islam mengenai konsep rodho’ah. Sehingga, kalau bicara mengenai ciri seks perempuan, yang takdir adalah memiliki payudara yang memiliki kemampuan memproduksi air susu, tetapi peran untuk menyusui merupakan pilihan bagi perempuan itu sendiri.