Berbagai diskusi mengenai gerakan sosial mutaakhir, seringkali menyebut-sebut terma modal sosial. Kekuatan yang menjadi milik khas sebuah komunitas untuk melakukan berbagai tindak perubahan untuk menuju pada sebuah sistem yang semakin adil bagi semua elemen masyarakat yang mendukungnya. Dalam pandangan Robert W. Hefner (RWH), modal sosial merupakan berbagai sumbangan budaya akumulatif yang memudahkan munculnya dukungan terhadap tugas-tugas sosial. Pemahaman ini, setidaknya mengantarkan pada kepercayaan terhadap identitas kultural apapun, besar cakupan dan pendukungnya maupun kecil dan sedikit pendukungnya, memiliki sumbangan positif terhadap proses-proses berkehidupan sosial. Masing-masing memiliki posisi yang setara dalam konstelasi sosial-politik, tidak ada satupun identitas kultural yang memiliki hak khusus untuk mendominasi, dan tidak ada satupun identitas kultural yang harus mengalami dominasi. Dengan keyakinan posisi setara bagi setiap identitas kultural inilah, modal sosial seperti yang dibayangkan RWH akan bisa terwujud.
Persoalannya kemudian, sumbangan-sumbangan dari setiap kultural ini, justru bersaing, saling serang, untuk bisa memperebutkan sumber-sumber politik-kekuasaan dan ekonomi, untuk bisa mempertahankan berlangsungnya nilai-nilai kultural yang dianut–kadang-kadang secara kasar–oleh masing-masing identitas kultural. Ruang-ruang informasi, juga menjadi medium perebutan wilayah transformasi nilai-nilai dari setiap identitas kultural yang hidup. Tujuannya, tentu saja untuk mencoba memaksakan kehendak agar nilai kultural yang dianut, bisa diikuti oleh kelompok identitas kultural lainnya. Jika kenyataan demikian yang terjadi, kita sedang menyaksikan sebuah pertikaian kultural, untuk saling jegal dan saling paksa, tentu saja dengan mengembangkan berbagai prasangka, sebagai semaian paling subur untuk membakar semangat pertikaian antar identitas kultural. Sebut saja, misalnya, hanya dengan menuliskan kata ‘waspadai’ pada teks “lesbian indonesia’–seperti yang berkembang dalam sebuah milis, sudah cukup membangkitkan seluruh prasangka sosial, baik di kalangan masyarakat yang beridentitas kultural sebagai heteroseksual terhadap kelompok yang beridentitas kultural sebagai homoseksual [lesbian] dan sebaliknya. Fundamentalisme, sesungguhnya, merupakan manifestasi puncak dari semangat saling paksa dan memaksakan kehendak terhadap identitas kultural untuk menganut, mempercayai dan menjalankan nilai-nilai yang dianut oleh identitas kultural lainnya.
Lalu, modal sosial, menjadi tidak bermakna, manakala situasinya menjadi demikinan. Apalagi pandangan Robert D Putnan, yang merumuskan modal sosial dengan mengacu pada pola-pola organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma, dan jaringan-jaringan sosial yang menurutnya akan mampu meningkatkan efisiensi sosial dan memudahkan tindakan-tindakan sosial yang terkoordinasikan dengan baik. Semakin kaburlah apa yang kita sebut sebagai modal sosial. Apa yang kita bayangkan akan lahir sebagai kekuatan kolektif sosial, justru hanya kekuatan kolektif identitas kultural eksklusif yang sedang mencoba membangun kekuatan kultural untuk menumbangkan identitas kultural lainnya, dengan terus menerus memperkuat modal sosialnya. Strategi pengembangannya tentu saja dengan menebarkan kebencian terhadap identitas kultrual lain, dengan menggunakan berbagai dalih, dan biasanya paling mudah menggunakan ikatan-ikatan kepercayaan maupun kedaerahan tertentu.
Lantas, bagaimana kita mesti memupuk modal sosial dari berbagai kekuatan identitas kultural, untuk kepentingan bersama bagi tercapainya keadilan sosial? Tampaknya, salah satu jalan paling efektif dengan mengembangkan paradigma multikulturalisme ke dalam berbagai organisasi sosial yang ada, untuk meyakini setiap identitas kultural harus mendapatkan pengakuan yang sama dalam kehidupan sosial keseharian. Ini bukan soal yang sederhana. Klaim kebenaran sebagai milik kelompok tertentu, merupakan halangan paling utama untuk memberikan pemahaman mengenai kesederajatan identitas kultural dalam kerkehidupan sosial. Menjadi lebi ruwet, karena klaim atas kebenaran juga dibarengi dengan doktrin, pemilik kebenaran mengemban tanggung jawab dan kewajiban agar setiap orang, setiap kelompok, harus menerima kebenaran tunggal itu. Caranya, tentu saja, semakin kompleks, dimulai dengan pengembangan prasangka, dan dilanjutkan dengan berbagai tindakan fisik, kekerasan dan perusakan-perusakan fasilitas publik. Dalam level tertentu, dibarengi dengan kekerasan seksual, pelecehan seks dan tertinggi tindak perkosaan.
Peter Evans, tidak ada yang sederhana mengenai penskalaan modal sosial pada level mikro, sebagaimana keruwetannya diilustrasikan sebelumnya, untuk menghasilkan ikatan-ikatan solidaritas dan tindakan sosial dalam sebuah skala yang secara politis dan ekonomis menjur untuk mesyarakat secara keseluruhan.
Sayangnya, para pemegang kekuasaan di negeri ini, tidak memiliki keberanian untuk melakukan tindakan berdasarkan hukum formal, dalam menghadapi modal sosial identitas kultural tertentu yang berpotensi justru untuk melakukan perusakan-perusakan dan penghancuran terhadap identitas kultural yang berbeda. Pemegang kekuasaan di negeri ini, terkesan mengulur waktu, agar tidak terlibat dalam pemaksaan kehendak dari identitas kultural yang merasa sebagai pemilik satu-satunya kebenaran di negeri ini. Kalau sudah demikian adanya, kekuatan-kekuatan sosial lain yang bisa meyakini adanya kesederajatan identitas kultural meski melakukan aliansi. Bukan untuk melakukan pembalasan terhadap apa yang pernah dilakukan kelompok lain, dengan bentuk dan model yang sama. Melainkan melakukan pendidikan kritis rakyat untuk menumbuhkan keyakinan, apapun alasannya, melakukan kekerasan, pelanggaran terhadap hak-hak setiap orang, merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan dalam latar doktrin apapun. Kemudian menuntut negara untuk secara sungguh-sungguh mengambil peran signifikan, berdasarkan pijakan-pijakan hukum nasional dan internasional untuk melakukan tindakan-tindakan efektif, sehingga penghancuran atas doktrin kebenaran tunggal tak lagi terjadi di negeri ini.