Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya.
Memberikan berkat atas kemanusiaan yang diemban oleh manusia itu
sendiri. Ini bukan perkara remeh temeh. Manusia mengemban
kemanusiaannya untuk mewujudkan nilai-nilai yang manusiawi. Nilai
yang menghargai atas berbagai keperbedaan, dalam ranah ekonomi,
politik kekuasaan, kebudayaan dan juga dalam perkara keperbedaan
orientasi seksual.
Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya,
untuk kembali mengingatkan tentang jati diri manusia itu sendiri.
Bagaimana kedirian manusia yang mulia, bisa dirasakan manfaatnya bagi
manusia lain yang tidak diuntungkan karena posisi ekonominya,
ketiaadaan kekuasaan politiknya, karena kebudayaannya dan tentu
karena keperbedaan orientasi seksualnya.
Lantas kita semua harus menyadari
secara bersama-sama, bersepakat secara bersama-sama, bagaimana
mewujudkan kasih Allah, tidak hanya dalam kisah-kisah memabukkan
dalam kitab suci. Kehadiran Allah tidak semata-mata dongeng
penghantar tidur anak-anak kita.
Kita, dengan seluruh kesetiakawanan
sosialnya, solidaritas kolektifnya, harus mampu membumikan kasih
Allah dalam wujudnya yang nyata. Terasakan dalam nadi kehidupan
sehari-hari, tidak dalam luncuran lisan sang pendeta dan para romo
semata-mata.
Memang, kita tidak bisa memastikan
apakah kasih Allah benar-benar telah membumi. Tetapi, setiap kita
akan bisa merasakan bagaimana kasih Allah bekerja dengan sendirinya
dalam kehidupan kaum papa, kaum terpinggirkan dan kaum yang hina
dina. Merekalah yang bisa merasakan setiap getar kasih Allah yang
membumi. Mereka bisa merasakan kesejukan dari rasa panas terik
matahaeri di punggung jalan, merasa bisa merasakan kenyamanan hidup
karena tidak dianggap kriminal setiap geraknya. Mereka merasa tenang,
karena tidak terbayangi ancaman HIV dan AIDS sepanjang siang dan
malam.
Lalu, apakah si kaya, si penindas, si
penguasa, tak juga bisa merasakan kasih Allah dalam kehidupannya.
Tentu saja, ya. Kelebihan yang ia sandang, kenikmatan yang bisa
dirasakan, semuanya wujud kasih Allah yang membumi. Tetapi, ia akan
lebih bisa merasakan kasih Allah yang membumi, manakala ia mampu
mengelola kekayaannya dengan benar sebagaimana firman Allah.
Bagaimana mampu mengelola kekuasaannya tidak untuk semakin
meminggirkan mereka yang hina dina. Bagaimana mereka bisa memberikan
rasa aman dan nyaman bagi siapa saja yang bertemu dengan mereka.
Kasih Allah yang membumi, adalah kasih
yang terpancar dari setiap pandangan mata, lafalan kata-kata, usapan
tangan yang ikhlas, uluran tangan yang tanpa menyakiti, langkah kaki
yang datar tanpa dongakan congkak-tekebur. Kasih Allah yang membumi
dalam diri umat-Nya, manakala setiap orang yang bersapa dengannya,
merasa tenang, percaya dan tidak khawatir serta menduga-duga.
Ini memang bukan perkara yang remeh
temeh.