Saya masih asyik sendiri, membaca
kembali buku karya YB Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, yang
terbit tahun 1982. Duapuluh enam tahun lalu. Kalimat-kalimat yang
mengalir, ringan, jernih, meskipun memiliki bobot kajian yang amat
luas dan mendalam, menjadikan saya hanyut membaca begitu suntuknya.
Buku yang memenangkan Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta ini,
mengurai berbagai karya sastra novel dan cerita pendek dengan amat
jelinya. “Wah, serius banget, Pak,” sapa teman mudaku di
tengah-tengah keasyikanku membaca, bahkan sapaan itu sampai pada
tingkat mengejutkan kesunyianku.

“Bagaimana khabarmu,” tanyaku
sambil menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas punggungku.

“Tidak begitu, baik. Sedang konflik
batin.”

“Alamak, natural banget.”

“Memang, ada persoalan serius, Pak.”

“Hayaaak, serius lagi, serius lagi,
kapan sih, santainya?”

“Sekarang saya mau bersantai, Pak.
Sambil mendengarkan pandangan sampean tentang persoalanku.”

“Hehehehe, sedikit banggsa sih,
didapuk sebagai orang yang bisa memecahkan masalah seriusmu.”

“Begini, Pak,” kata teman mudaku
memulai. Pandangan matanya menerawang, mungkin sedang mencoba
merumuskan persoalannya dalam susunan kalimat yang cekak aos.

“Saya baru saja dikritik
habis-habisan.”

“Soal?” Tanyaku pendek saja.

“Gerakan yang sedang kita bangun,
katanya gerakan tanpa spiritualitas.”

“Wealah, rumusan kalimatmu eksentrik
banget,” kataku.

“Pada kategori yang lebih umum,
sering mengabaikan agama.”

“Kalau itu justru menjadi lebih
sempit,” sahutku.

“Kenapa?”

“Spiritualitas itu lintas bantas,
termasuk lintas agama.”

“Bingung, Pak.”

“Ya, sudah, teruskan saja ceritamu.”

“Kita seringkali memenangkan
gagasan-gagasan kita daripada pertimbangan moralitas agama.”

“Kepentingan dalam semangat
kemanusiaan?”

“Benar, Pak.”

Tepat benar dengan buku Romo Mangun
yang sedang saya baca. Lalu kubuka lagi halaman buku itu, tepat yang
mengupas cerpen karya pengarang Arab, Yussef Idriss berjudul “Rumah
Daging.” Sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana kepentingan
kemanusiaan dan kepentingan agama bertarung dalam batin manusia.

“Nih, Romo Mangun mengulas dengan
cerdas konflik batinmu.” Kataku sambil menceritakan ulang secara
bebas apa yang ditulis Romo Mangun berkaitan dengan karya Idris.
Alkisah, rangkum Romo Mangun, cerita ini mengkisahkan kehidupan
seorang janda dan tiga putrinya yang juga belum menikah, dalam
kondisi ekonomi yang miskin. Kesunyian hampir setiap saat menyelimuti
mereka, kecuali hanya satu suara yang sering hadir terdengar di rumah
perempuan-perempuan itu. Suara seorang muqri yang buta, seorang
pengucap ayat-ayat Alquran untuk mencari nafkah dari pintu ke pintu.
“Kalau saat di negeri ini, ya seperti pengamen antar kampung,”
kataku. Teman mudaku manggut-manggut setuju
.

Ketiga putrinya, menyarankan ibunya
untuk menikahi si muqri,
meski agak terkejut, tetapi kesunyian dirinya, menuntutnnya untuk
menyetujui usul itu. Lalu menikahlah mereka, dan sejak saat itu,
setelah puluhan tahun tak ada suara tawa laki-laki, kini terdengar
kembali memenuhi kamar ibunya.

Persoalannya
kemudian, si Ibu merasa dirinya egois. Romo Mangun mengutip teks
dalam cerpen itu, “Dia yang mengambil roti dari mulutnya sendiri
untuk dimakankan kepada anak-anaknya, dia yang satu-satunya
keprihatinannya ialah memberi makan kepada mereka, sekalipun dia
sendiri kelaparan, dia, si ibu, lupakah dia?” Konflik batin
terjadi, antara adat moral dan agama melawan perikemanusiaan. Yussef
Idriss memenangkan perikemanusiaan. “Makanannya terlarang, tetapi
lapar jauh lebih berdosa lagi,” tulis Yussef Idriss.

Ibunya
lalu meminjamkan cincin kawinnya kepada putri-putrinya dan juga
meminjamkan suaminya. Si
muqri yang
buta hanya tahu cincin itulah yang menandai perempuan itu sebagai
istrinya. Setiap kali cincin diletakkan di sebelah pelita minyak,
makan cincin itupun diambil dan digunakan dalam jari-jemari yang
berbeda. “Lampu dipadamkan dan kelaparan pun terpuaskan,” tulis
Romo Mangun.

Ini
adalah pertempuran serius dalam batin dan pada akhirnya kita memang
harus memilih, dan mengatakan pertanggungjawaban invidu hanyalah
kepada-Nya. Sang Maha Besarlah yang bisa mengerti pada
sedalam-dalamnya pengertian mengenai laku setiap individu,” kataku.

Hubungannya
dengan persoalanku, Pak?”

Kita
sedang berada dalam penghadapan pada problem kemanusiaan, soal
perikemanusiaan. Kita bukan sedang tidak mengerti makna
spiritualitas, nilai-nilai moralitas. Kita berada selalu dalam
semangat spiritualitas, dalam bingkai pilihan-pilihan persoalan
sosial-keseharian.”

Maka
tidak heran, ketika Emha Ainun Nadjib, dengan lantang mengatakan,
ketika kita hendak berangkat shalat Jumat, lalu dihadapkan pada
peristiwa kecelakaan, maka yang wajib adalah menyelamatkan korban
kecelakaan daripada shalat Jumat itu sendiri,” kataku lagi, sambil
menambahkan saya agak lupa di mana Emha Ainun Nadjib menulis atau
mengatakannya.

Persoalan
yang sama juga dihadapi Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Seperti yang
saya dengar ketika masih di pesantren dulu, Sahabat Ali, sedang
menuju ke masjid untuk shalat berjamaah dan ia dikenal sebagai
sahabat yang tidak pernah tinggal shalat berjamaah. Dalam perjalanan
menuju masjid, di depannya berjalan seorang tua yang amat lambat
jalannya. Ali berada dalam posisi yang teramat sulit, memenangkan
shalat berjamaahnya, tetapi melanggar adat moral karena mendahului
orang tua, memenuhi adat moral dengan tidak mendahului orang tua itu,
tetapi ia pasti tertinggal shalat jamaah. Pada situasi ini, Ali
mengambil sikap memenangkan perikemanusiaan, ia tidak hendak
mendahulu si orang tua, dan memang pada akhirnya, ia tertinggal
shalat jamaah.

Saya
paham sekarang posisi kita di mana,” kata teman mudaku.

Syukurlah,”
kataku sambil menyalakan sebatang rokok. Asapnya berputar-putar,
memenuhi udara, untuk tidak ada anak-anak, sehingga saya tidak
meracuni mereka dengan asap itu.[]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *