Hampir sembilan
bulan, ruang publik dipengapi berbagai simbol partai politik dengan
jargon-jargonnya, potret gambar calon legislatif, spanduk-spanduk
ucapan selamat, dan hari-hari besar agama maupun nasional. Mulai
pekan ini (16 Maret), ruang publik akan bertambah pengap tidak saja
oleh deru suara kendaraan bermotor yang digeber, memekakan telinga,
tetapi juga hilangnya rasa aman dan nyaman sepanjang perjalanan.
Pasalnya, kampanye terbuka akan segera dimulai, sebagai proses
pemaparan visi, misi dan agenda partai manakala memenangkan Pemilu,
dan lebih khusus lagi ajang unjuk kekuatan partai politik sebagai
kontestan Pemilu 2009.

Pertanyaan
kritisnya, benarkah kampanye terbuka di tempat-tempat umum dengan
mengerahkan massa, memiliki efektivitas untuk menyampaikan visi, misi
dan agenda strategis partai politik, cukup signifikan terhadap
peningkatan perolehan suara, dan siapa sebenarnya yang membutuhkan
informasi mengenai agenda strategis partai? Jawaban dari pertanyaan
ini akan menunjukkan posisi kampanye terbuka dalam keseluruhan proses
partai politik dalam memperebutkan suara publik.

Merujuk pada
pengalaman pelaksanaan Pemilu, khususnya, pasca tumbangnya Orde Baru
yang disusul dengan Pemilu 1999, kampanye terbuka di ruang publik
dengan pengerahan massa, ternyata tidak lebih dari sekedar unjuk
kekuatan secara massif bagi partai-partai politik. Sehingga tidak
mengherankan jika ukuran-ukuran keberhasilan yang dipakai adalah
jumlah masyarakat yang menghadiri rapat umum. Untuk mencapainya,
selalu dijanjikan hadirnya figur publik sebagai penarik massa, mulai
dari pelawak, artis nasional, dan tokoh agama kondang. Selain itu,
para menteri, dan pejabat lain yang dianggap memiliki pengaruh secara
nasional diturunkan pula ke panggung oleh partai induknya
masing-masing. Presiden pun sudah bisa dipastikan akan turut berorasi
dalam kampanye partai induknya, yang tujuannya, tentu saja,
semata-mata untuk menarik massa agar berdatangan.

Dua Tipologi

Proses rekruitmen
peserta kampanye terbuka seperti tergambarkan, masyarakat yang hadir
sesungguhnya hanya terdiri dari dua karegori, simpatisan partai
politik penyelenggara kampanye massal dan mereka yang semata-mata
mencari hiburan secara gratis. Jika telisik ini benar, kampanye
terbuka atau rapat-rapat umum di tempat umum, sama sekali tidak
menjawab kepentingan untuk penyampaian visi, misi dan agenda
strategis partai secara efektif. Pasalnya, simpatisan tidak lagi
peduli dengan informasi visi dan misi serta agenda strategis partai
yang sudah menjadi pilihannya. Simpatisan hanya membutuhkan ruang
untuk berhura-hura, sambil menunjukkan kekuatan dukungan partai
kesayangannya itu. Simpatisan juga menunjukkan tidak akan memiliki
makna bagi perolehan suara, karena tanpa kampanye terbuka ini pun,
mereka memang sudah dipastikan akan memilih partai politiknya.
Karenanya, penyampaian informasi yang bertujuan untuk mempenagaruhi
publik untuk memilih partai politik berasangkutan sama sekali tidak
menemukan nalarnya.

Pada tipologi kedua,
memiliki karakteristik yang sama dengan simpatisan. Bedanya hanya di
satu titik, mereka tidak akan memilih partai penyelenggara kampanye
terbuka, karena kehadirannya tidak memiliki relasi apapun dengan
kejelasan visi kebangsaan partai politik atau agenda strategis yang
sangat menjanjikan bagi kamajuan bangsa ini. Mereka sama sekali tidak
menaruh kepedulian terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh juru
kampanye, yang berteriak hingga serak di atas panggung dengan sound
system
ribuan watt itu. Bagi peserta tipologi ini, yang penting
hiburan yang hendak dinikmatinya, sembari memanfaatkan ruang bebas
untuk berteriak-teriak, kebut-kebutan, yang seakan-akan serta merta
dilegalkan itu.

Kenyataan yang akan
ditemui dari pelaksanaan kampanye terbuka ini, justru kemungkinan
terjadinya kecelakaan-kecelakaan lalu lintas yang akan meningkat
secara drastis, kerusakan-kerusakan fasilitas umum, kemungkinan
penjarahan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), dan paling
puncaknya terjadinya kekerasan fisik, psikis dan seksual, baik karena
terpicu oleh suasana berdesakan itu sendiri maupun karena
kerusuhan-kerusuhan yang mungkin terjadi karena benturan antar
partai. Dugaan ini tentu saja tidak tanpa alasan, karena peristiwa
semacam ini, sudah terbukti adanya dalam pengalaman kampanye terbuka
pada masa sebelumnya. Pelatihan-pelatihan insentif pihak-pihak yang
bertanggung jawab atas keamanan pelaksanaan Pemilu, merupakan isyarat
yang tak terbantahkan dari prediksi terjadinya kerusuhan massal ini.

Pemilih Kritis

Berdasarkan fenomena
dan prediksi mengenai situasi dan akibat yang mungkin ditumbulkan
dalam kampanye terbuka, masyarakat yang hendak sungguh-sungguh
mendapatkan informasi mengenai partai politik dan para calon
legislatifnya, menjadi tepat jika pilihannya justru menghadiri rapat
umum partai seperti ini. Sudah tidak akan mendapatkan informasi yang
jelas dan valid, malah mungkin akan mengalami resiko akibat
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sebagai efek dari pengerahan
massa secara massif.

Pemilih kritis,
tidak terlalu penting untuk mencari informasi mengenai agenda
strategis partai politik, karena tidak akan lebih dari sekedar lips
services
semata-mata. Simak saja, melalui berbagai iklan yang
ditayangkan televisi, kita sudah bisa mengambil kesimpulan betapa
klasiknya janji-janji partai politik, dan hampir tidak bisa
dipercayakan akan sungguh-sungguh dilaksanakan manakala partai mereka
mememangi Pemilu. Setidaknya ada dua hal penting, yang justru harus
dicari oleh pemilih kritis dalam menghadapi Pemilu 2009, yang
kesemuanya tidak akan pernah ditemukan dalam pelaksanaan kampanye
massal ini.

Pertama, rekam jejak partai politik dan para calon legislatif yang diusung
partai politik. Rekam jejak ini menjadi penting karena akan
menentukan sikap kita dalam memilih partai politik atau calon
legislatif yang memiliki catatan hitam. Misalnya, kita tidak akan
memilih partai politik yang pada masa lalu berkuasa tetapi sama
sekali tidak menunjukkan prestasi seperti yang dijanjikan dalam
berbagai kampanyenya. Kita tidak akan memilih calon legislatif yang
memiliki catatan buruk, seperti terlibat dalam kasus-kasus korupsi,
kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi
Perempuan (HAP), pelaku kekerasan terhadap perempuan, seringkali
diketahui melakukan kebohongan publik dan dikenali sebagai pendukung
berbagai kebijakan-kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat
kebanyakan.

Kedua, melakukan
pencatatan-pencatatan dengan berbagai janji yang diucapkan oleh para
fungsionaris partai politik, calon legislatif dan juru kampanye
berkaitan dengan pemecahan berbagai problem sosial. Data yang
terkoleksi memiliki manfaat untuk mengingatkan kembali pada saat
partai politik maupun calon legislatif kelak memenangi Pemilu.
Mungkin tidak bisa dijadikan alat gugatan, karena janji-janji verbal
itu memang tidak memiliki kekuatan hukum apapun, tidak ada bukti
hitam di atas putih sebagai dokumen perjanjian. Tetapi dalam konteks
kebohongan publik, janji-janji itu memenuhi unsur gugatan secara
hukum. Pada level paling minimalis, rekaman janji-janji itu, bisa
digunakan sebagai alat penekan secara moral untuk secara terus
menerus disampaikan kepada khayalak ramai, manakala apa yang
dijanjikan itu, memang tidak pernah dipenuhi sama sekali.

Pada
akhirnya, pemilih kritis tidak hanya mereka yang memiliki sikap
kritis dalam menentukan pilihan-pilihannya dalam pelaksanaan Pemilu,
tetapi juga mereka yang secara kritis melakukan pencatatan terhadap
janji-janji yang diumbar secara murah selama proses masa kampanye.
Pemilih kritis adalah mereka yang menyadari, Pemilu bukanlah akhir
dari proses penetuan tegaknya demokrasi, melainkan justru awal dari
keseluruhan proses demokrasi itu sendiri.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *