Bulan-bulan terakhir ini, ada rasa
optimisme yang membuncak dalam dadanya. Kegairahan baru yang begitu
membara. Pasalnya, bertahun yang lalu, Kliwon meneriakkan makna
pentingnya bekerjasama dalam mendorong terjadinya perubahan sosial.
Bahkan, paruh akhir tahun 80-an, di kalangan aktivis muncul seloroh,
‘apa bedanya, kerjasama, sama-sama kerja, kerja sama-sama, kerja
bersama dan bersama kerja.’ Kliwon selalu tidak hendak memberikan
jawaban, karena menurutnya, realitas yang paling berhak untuk
menjawabnya. Kini, di penghujung tahun 2008 dan memasuki gerbang
tahun 2009, Kliwon menemukan jawaban dari realitas itu. Di mana-mana,
Kliwon mendengar dan melihat, semangat untuk melakukan sesuatu secara
bersama-sama, menggema. Mengharu-birukan langit gerakan sosial di
Indonesia.
Semangat itu tidak hanya muncul dalam
menghadapi fenomena Pemilu 2009 dengan mengusung gagasan gerakan
untuk calon legislatif perempuan, tetapi juga munculnya fenomena
gerakan bersama yang lain, seperti dikembangkannya blog-blog dengan
tujuan untuk melakukan advokasi, jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemanfaatan dunia internet, untuk mengumpulkan dukungan dalam
menyelesaikan suatu persoalan juga mulai berkembang. Paling terakhir,
penandatangan komitmen untuk keterlibatan laki-laki dalam
pengahapusan ketidakadilan terhadap perempan, lebih khusus lagi,
kekerasan terhadap perempuan. Tetapi Kliwon pernah merasa panas juga
telinganya. Bayangkan, sedang bergembiranya kesadaran untuk berbagai
hal, Pak De No, malah bilang, “wach, lumayan nech, laki-laki akan
dapat proyek lagi. Sebagian besar dana untuk penghapusan kekerasan
terhadap perempuan, nantinya akan dialokasikan 80 persennya untuk
peningkatan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan laki-laki.”
“Won, apa nanti perempuan tidak
kembali terpinggrikan?” Tanya Pak De No.
Kliwon tentu saja ingin menyoal gagasan
cethek tetangganya itu. Tetapi dia urungkan juga niatnya. Apa
untungnya menang berdebat di muka publik dengan laki-laki tua bangka
seperti Pak De No. Laki-laki yang tidak pernah tahu
merah-hijau-kuningnya warna partai politik. Laki-laki yang hanya tahu
soal bagaimana melatih kerbau supaya tidak kentut saat dimanfaatkan
untuk membajak sawah. Apa tahunya dia tentang jender, patriarkhi dan
terma-terma lain sejenis yang mengandung nilai intelektualitas amat
tinggi dan mumpuni. Hanya laki-laki seperti Kliwon, yang rajin baca
koran, mendengarkan radio, dan nonton tivi bisa memahami soal-soal
pelik seperti ini. Lha, wong nama-nama aktivis perempuan tingkat
nasional saja nggak pernah kenal apalagi ketemu. Kalau Pak De No,
ditanya siapa itu Cici Farcha, Lies Marcoes Natsir, Maria
Hartiningsih, Zohra Andi Basso, Zuraida? Bah, nggak bakalan tahu,
wong kenalannya hanya bakul pitik dan mbako semprul. Apalagi ditanya
nama-nama internasional, seperti Amina Wadud, Aisya Abdurrahman,
Nawal el Sadawi. Bah, tak akan pernah tahu, telinganya saja gatal
mendengar ejaannya. Tidak saja asing, tetapi sulit untuk didengarkan.
“Pak Ne, nggak boleh sombong seperti
itu,” kata Yuk Nah mengingatkan suaminya yang sedang kalap di meja
makan. Yuk Nah, paham benar, suaminya memang benar-benar marah,
ditanya Pak De No, di hadapan banyak orang, tetapi nggak bisa
menjawab, sebagaimana biasanya yang kesukaannya menjawab. Kesukaan
berpidato tanpa bisa distop, bahkan mungkin oleh polisi lalu lintas
sekalipun.
“Betul, Pak, mengetahui tidak berarti
berhak mencaci maki. Setiap orang memiliki kapasitas pengetahuan yang
berguna bagi kehidupannya. Mungkin juga berguna bagi rantai kehidupan
sosial yang lebih besar lagi,” Ninda menambahkan. Sejak Ninda
pacaran, memang jiwanya makin dewasa saja. Bicaranya selalu bernada
menasehati. Perubahan yang luar biasa drastis dan mengagetkan tidak
saja keluargnya, tetapi juga teman-teman kuliahnya.
“Lho, kalian sedang menyalahkan sikap
saya? Memang saya pernah mencaci maki Pak De No dihadapan orang lain?
Tahu apa kalian tentang kehidupan ini. Saya disebarkan oleh semangat
bertoleransi, meskipun bukan cap P-4.” Kliwon megap-megap bicarnya.
Karena kalap, sendok sambal terasi-cabe rawit lupa dimakannya.
Lidahnya terasa terbakar. Dua gelas sudah tuntas, amblas. Tetapi rasa
menyayat-sayat di bibir dan lidahnya belum juga menghilang. Kliwon
bergegas keluar rumah. Obat paling nikmat untuk lidah dan bibir
terkena rasa pedas, tiada lain dan tiada bukan. “Merokok, ya,
merokok,” bisik hatinya.
Pikirannya melambung-lambung, mengikuti
irama asap yang ditiup berputar-putar oleh angin malam itu. Kliwon
benar-benar terpekur, berpikir serius, mungkin lebih tepat disebut
refleksi. Ya, Kliwon sedang melakukan refleksi atas dirinya sendiri,
tentang kerjasama, dan tentang kehidupan kesehariannya yang
sesungguhnya hanya berisi dengan kerja sama-sama, bekerja sama-sama.
“Akkh, betapa susahnya menjadi aktivis,” bisiknya lirih.