“Kenapa kelihatan gelisah, Pak?” Tanya Ninda setelah lama
memperhatikan bapaknya, Kliwon mondar-mandir di teras rumahnya.
Sesekali duduk, sebentar kemudian berdiri, melangkah perlahan, lalu
duduk kembali. Ninda yang memperhatikan saja, sudah merasa lelah.
Tetapi, Kliwon masih terus melakukannya berulang-ulang.
“Ada apa, bikin kaget saja,” sahut Kliwon menghentikan
langkahnya. Lalu duduk di kursi malasnya. Akhh, kursi malas,
sebenarnya tidak tepat benar, karena hanya sebuah kursi panjang dari
bambu wulung, yang salah satu sisinya dibuat melengkung. Lebih tepat
sebenarnya disebut, Kliwon malas sedang duduk di kursi dari bambu
wulung.
“Sedang menunggu siapa?” Tanya Ninda kemudian. Ninda berpikir,
bapaknya pasti sedang menunggu petugas bank yang akan menagih, karena
sudah tiga bulan ini Kliwon tidak membayar cicilan.
“Ini hari mulai terjadi pembagian uang ke rumah-rumah.”
“Jangan mimpi, Pak. Mana ada hari gini, orang membagi-bagi uang.
Bodoh nian manusia itu.”
“Heh, heh. Kamu tidak membaca berita-berita hari ini?”
“Soal apa?”
“Dalam berbagai laporan media itu, mengkhawatirkan terjadinya
politik uang. Membagi-bagi uang ke rumah-rumah untuk meyakinkan,
masyarakat memilih dirinya atau setidak-tidaknya partainya.”
“Itu khan hanya laporan media massa. Bapak ini keterlaluan saja
memahami.”
“Kalau memang betul ada yang mau bagi-bagi uang terima saja,”
lanjut Ninda dengan mulut berkecipak kepenuhan kembang gula.
“Nah, generasi muda macam gini yang membahayakan negara. Tidak
pantas sebagai anak Kliwon, intelektual desa yang kondang
ngawang-ngawang.”
“Bapak memang banyak mendengar rerasan, terima saja uangnya,
memilih urusan yang berbeda. Bahkan nasehat semacam ini juga
dituahkan oleh para aktivis demokrasi.”
“Emang apa salahnya, hayoooo!”
“Lha, ini kesalahan selanjutnya. Bapakmu sendiri kamu
hayo-hayooin.”
“Ya, maaf lah. Terus alasannya kenapa rakyat tidak boleh
menerima uang. Sekali-kalilah, mereka mendapatkan uang tanpa harus
memeras keringat.”
“Begini anak perempuanku. Coba dengarkan baik-baik. Mana Maksum,
sekalian biar mendengarkan,” kata Kliwon.
“Sedang di WC, Pak.” Sakit hati Kliwon. Memerah darah.
Bagaimana tidak, setiap kali dirinya hendak menyampaikan wejangan
penting tentang etika kehidupan, tentang masa depan negeri ini,
tentang tragedi kemanusiaan yang terus menerus terjadi. Lumpur
Lapindo belum usai, tanggul situ gintung jebol, di Jawa Tengah,
jembatan seminggu diresmikan, jebol. Di Kalimantan, jembatan seminggu
lagi hendak diresmikan malah sudah ambruk duluan. Tetapi,
anak-anaknya, selalu sedang dalam WC. Membuang hajat. Kliwon mengelus
dadanya kembali.
“Orang menjadi calon anggota legislatif saat ini
itung-itungannya adalah uang dan uang. Jabatan itu sudah seperti
bisnis saja. Mereka pasti akan menghitung ulang, apa dan berapa yang
sudah dikeluarkan untuk menjadi anggota legislatif. Kelak mereka akan
menghitung ulang dan mengembangkan agenda untuk bisa
mengembalikannya, dan tentu saja sekalian dengan keuntungan yang
mungkin dapat diraihnya,” jelas Kliwon panjang lebar.
“Inilah awal dari sebuah sistem politik yang korup. Mereka akan
mengembangkan berbagai kegiatan yang bisa menghasilkan uang,”
lanjutnya.
Dengan pandangan seperti ini menurut Kliwon, rakyat tidak baik
untuk dididik menerima uang dari calon anggota legislatif. Mereka
harus dididik untuk menolak pemberian apapun yang berbau pembelian
suara mereka. Pemberian yang diduga untuk mempengaruhi pilihan mereka
dalam pelaksanaan contrengan. Jadi pendidikan salah kaprah, yang
menganjurkan rakyat untuk menerima pemberian uang, soal memilih
urusan kemudian. Rakyat harus memiliki kehendak untuk membersihkan
politik kita dari politik uang. Ini pendidikan untuk mengembangkan
etika politik di negeri ini.
“Baguslah, Pak.”
“Bagus-bagus-bagus.”
“Lha, kok Bapak sewot.”
“Kamu paham nggak apa yang Bapak omongin?” Tanya Kliwon kesal.
“Saya paham, tetapi bagaimana dengan rakyat yang banyak itu,
Pak?” Ninda balik bertanya.
Kliwon diam. Tak ada yang bisa memastikan gagasannya ini bisa
benar-benar terwujud dalam masyarakat. Banyak situasi yang mendorong
rakyat tidak menerima praktik politik uang. Dirinya akan keliling
Indonesia untuk menyampaikan gagasannya secara nasional? Ahhh, dan
Ninda sudah pergi entah ke mana, meninggalkan Kliwon masgul
sendiri.***