Kesepakatan tegas para peserta
Konferensi Asia Tenggara tentang Child Sex Tourism (CST) diambil,
kawasan wisata Asia Tenggara harus segera bebas dari praktik-praktik
pariwisata seks anak. Indonesia, yang masuk dalam kawasan ini, juga
harus mengambil berbagai tindakan untuk membebaskan kawasan wisatanya
dari wisata seks anak. Kesepakatan ini ditandatangani oleh berbagai
elemen baik pemerintahan maupun lembaga donor internasional.
Demikian, laporan yang disampaikan Soepri Tjahyono, langsung dari
Sanur, Bali.

Pernyataan bersama dibacakan secara
bersama oleh Koordinator Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ECPAT affiliate group in Indonesia) Ahmad
Sofian, Direktur Pemberdayaan Kebudayaan dan Pariwisata Masyarakat,
Bakri, Deputi Bidang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Kementerian
Pemberdayaan Perempuan RI, Dr.Surjadi Soeparman, Plan International,
Jipy Priscilia dan Direktur Regional Refresentative Terre Des Hommes
(TDH) – Belanda Mr. Frans van Dijk, dalam Konferensi yang rencana
akan berlangsung tanggal 18-19 Maret 2009..
Pernyataan bersama ini
menjadi penting, karena praktik wisata seks anak sudah melibatkan
kejahatan transnasional, sehingga dalam melawannya diperlukan
upaya-upaya bersama yang terorganisasikan dengan baik dan terukur.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai dan kendala-kendala yang dihadapi
harus bisa diidentifikasi dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Dibangun pemhaman bersama, pariwisata
bukanlah penyebab CST, tetapi pelaku kejahaan yang memanfaatkan
fasilitas yang disediakan berbagai pihak yang menunjang pariwisata,
seperti hotel, jasa travel, untuk mendukung kejahatan dalam
eksploitasi hak anak. Dari sinilah, Child Sex Tourism (CST) dianggap
sebagai eksploitasi seksual komersil anak (ESKA) yang dilakukan para
turis dari ke suatu tujuan wisata dengan maksud untuk melakukan
hubungan seks dengan anak-anak, bisa anak-anak dari bangsa asing
ataupun anak-anak dari lokal itu sendiri.

Sebagian faktor yang memosisikan
anak-anak menjadi rentan sebagai korban CST, antara lain, masih
adanya stigma negatif masyarakat, tradisi adat istiadat yang bias dan
patriarkhi, diskriminasi, mitos mengenai seks, kemiskinan, KDRT,
situasi darurat dan konflik, tinggal dan bekerja di jalanan, kuatnya
konsumerisme. Selain itu, juga mencakup soal-soal sistem adopsi,
sistem hukum, dan teknologi informasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *