Ratusan orang dengan khidmat mengikuti upacara di tengah cuaca yang cukup panas siang itu. Semerbak harum dupa menyebar ke segala penjuru.
Tak jauh dari bibir pantai terpasang dua buah meja panjang sebagai tempat
sesaji. Di barisan sebelah barat duduk tertib serombongan pemuda
berpakaian adat Bali menabuh gamelan. Minggu siang itu (22/3) di pantai
Parangkusumo, Bantul, berlangsung upacara Melasti menyambut hari raya umat
Hindu, Nyepi, yang jatuh pada tanggal 26 Maret.
Upacara Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang
dilaksanakan tiga atau empat hari sebelum hari raya Nyepi. Di Yogyakarta
sendiri upacara yang sama telah dilaksanakan sebelumnya di pantai Ngobaran,
Gunungkidul, pada 10 Maret lalu. Kata Melasti mempunyai makna menyucikan arca,
pratima, nyasa, atau pralingga sebagai wujud atau sthana Ida Sang
Hyang Widdhi Wasa dengan berbagai manifestasinya. Hal ini berarti menyucikan
diri pribadi dan alam semesta.
Dalam upacara
Melasti, setiap orang dituntut untuk introspeksi diri. Mampu melihat kesalahan
sendiri dan berusaha untuk memperbaikinya. Jangan hanya melihat atau
mencari-cari kesalahan orang lain. Bersikap jujur terhadap diri sendiri serta
tidak memaksa orang lain menjadi seperti apa yang diinginkannya. Menghargai
orang lain untuk menjadi dirinya sendiri. Upacara Melasti bertujuan membuang
segala ‘kotoran’ yaitu sifat buruk yang ada pada diri manusia untuk mendapatkan
kesucian jiwa dan raga.
Sifat-sifat buruk
pada diri manusia yang harus dibuang adalah sad ripa (enam musuh), sad
tatayi (enam pembunuhan kejam), dan sapta timira (tujuh kegelapan
atau hal-hal yang memabukkan). Sad ripa yaitu kama (nafsu
biologis), lobha (rakus), krodha (marah), madha (mabuk), mona (bingung), dan matsarya (dengki, iri hati). Sad tatayi yaitu aguida (membakar), wisada (meracuni), atharwan (menggunakan ilmu hitam), sastraghna (mengamuk), dratikrama (memperkosa), rajapisuna (memfitnah sampai memyebabkan orang meninggal). Sedangkan sapta timira yaitu surupa (ketampanan/kecantikan), dhana (kekayaan), guna (kepandaian), kulina (kebangsawanan), yowana (keremajaan), sura (minuman beralkohol), dan kasuran (keberanian/kemenangan).
Setelah dilakukan
doa-doa oleh pedande (pemimpin upacara), sesaji yang ada kemudian
dihanyutkan (larung) ke laut selatan. Hal ini bermakna sebagai wujud
rasa syukur kepada Sang Hyang Widdhi Wasa atas segala rahmat karunia yang telah
diberikan kepada manusia serta untuk menghilangkan segala keburukan yang ada
pada diri manusia dan alam semesta.
Desi