Tanggal 22 Maret, seusai Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jaeniro tahun 1992, ditetapkan
sebagai Hari Air Internasional. Karenanya, untuk pertamakalinya
dirayakan, 22 Maret 1993, sebagai upaya untuk terus menerus
mengingatkan kalangan dunia, berkaitan dengan pelaksanaan Agenda 21,
yang ditetapkan pada Sidang Umum PBB ke-47 Desember 1992. Kalangan
perempuan memberikan perhatian serius dengan persoalan air, tidak
saja pemanfaataannya, tetapi kontrol atas pengelolaannya. “Air
merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan,” sebut
Solidaritas Perempuan, dalam Pernyataan Sikapnya berkaitan dengan
Peringatan Hari Air Internasional tahun 2009.
Solidaritas dengan tegas menolak
terjadinya proses privatisasi air, karena prakteknya hanya
menguntungkan bagi perusahaan transnasional dan menjauhkan rakyat
banyak terhadap akses air sebagai kebutuhan dasar hidup manusia.
“Lahirnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
justru
makin memuluskan praktek-praktek privatisasi,” jelas Risma Umar,
Ketua Badan Eskekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
UU No. 7 Tahun 2004, mendorong
privatisasi air, menurut Risama Umar, karena paradigma yang
digunakan
dalam undang-undang menekankan air sebagai barang
ekonomi yang
sangat vital bagi masyarakat, sehingga membuka peluang terjadinya
komersialisasi sumber daya air. Akibatnya, sektor swasta mengambil
alih fungsi pelayanan publik di sektor air, yang selama ini ditangani
PDAM. Sumber-sumber air dijual kepada perusahaan-perusahaan air minum
yang berdampak pada berkurangnya debit air tanah yang berfungsi
sebagai pengairan di sektor pertanian.
Solidaritas Perempuan
juga mengkritik kebijakan-kebijakan di sektor air yang cenderung
mengakomodasi kepetingan pasar bebas, yang semakin menjauhkan dari
prinsip pengelolaan
sumber daya air yang adil dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, Solidaritas Perempuan, menunjuk naiknya tarif air
sebesar 20%, dan PT PAM Lyonaise Jaya meraup laba bersih sebesar Rp.
253.857 milyar periode 2005-2007. Dalam pengelolaan mereka, kulaitas
air pun sangat buruk, keluhan bau, berlumut, berwarna, dan debit air
yang kecil. “Tidaklah benar bila pengelolaan air oleh swasta
membawa pada efisiensi dan kesejateraan rakyat, tetapi hanya
menguntungkan perusahaan asing,” tulis Risma.
Sistem layanan
air yang buruk, baik kualitas airnya maupun tarif yang mahal karena
dikelola swasta, menjadikan perempuan rentan terhadap berbagai
persoalan sosial. Perempuan urban dan perkotaan, menanggung beban
tambahan manakala air tidak tersedia atau tak terjangkau. Mereka
harus menambah anggaran untuk medapatkan air bersih. Mereka terpaksa
mengurangi anggaran untuk kebutuhan lainnya, menghemat
makanan,menghemat kebutuhan sosial, bahkan fasilitas pendidikan
anak-anaknya seperti buku pelajaran. Perempuan juga harus menahan
rasa sakit karena tak bisa berobat.
Solidaritas Perempuan menyatakan,
privatisasi sumber daya air dengan menyerahkan pengelolaannya kepada
pihak swasta yang hanya menguntungkan perusahaan asing dan
merugikan
rakyat banyak khususnya perempuan sebagai kelompok yang
paling terkena dampak, merupakan pengkhianatan terhadap UUD 1945.