“Mestinya
setiap agama membela pluralisme berdasarkan konsep-konsep agamanya sendiri dan
motif-motif vandalisme hadir karena alasan-alasan politik,”
kata Jalaluddin Rahmat, dalam diskusi Demokrasi-Politik Kebijakan Negara dan Dinamika Pluralisme Agama dan Keyakinan
di Indonesia, yang dilaksanakan DIAN/Interfidei, Jum’at (8/8) di PUSKAT, Jogjakarta.

Prof. Dr. Kerel Steenbrink dari Utrecht University,
mempresentasikan Dinamika Hubungan Antar Agama di Indonesia dan Belanda. Menurutnya, beberapa kasus belakangan di Indonesia,
hadirnya golongan Ahmadyah. Di Belanda,
Ahmadiyah sebagai kelompok Islam tertua yang mendirikan mesjid pertama, 50 tahun lalu (1957). Pada saat itu Ahmadyah didukung penuh oleh duta Saudi,
duta Irak dan duta Iran. Fakta lain, menurut Steenbrink, sebuah gereja
di Den Haag pernah dibeli dengan uang hasil korupsi Probosutejo dan dijadikan mesjid. “Pada perayaan 50 tahun
berdirinya mesjid, dihadiri Ratu Beatrix, dengan melepas sepatu untuk
menghormati keberadaan mesjid tertua di Belanda,” katanya.

Mohtar Masoed, dari Fisip UGM menyatakan, Indonesia merupakan negara yang lahir dengan aturan
main cukup toleran, tetapi kebanyakan penduduknya tidak toleran. “Penggunaan Bhineka Tunggal Ika sebuah prestasi yang sangat baik,” katanya.

Abdul
Munir Mulkan, Komnas HAM, menyatakan, demokrasi saat ini justru dipakai sebagai
alat diskriminasi minoritas terhadap mayoritas. “Mengenai politik dan
pluralisme, bukanlah wilayah Komnas,” katanya.

Syafi’i
Mufid, Litbang Departemen Agama
RI, menyatakan, ekses paling berat,
penutupan dan perusakan rumah-rumah ibadah. SKB No.1 Tahun 1969 tentang
pendirian rumah ibadah mengalami multi tafsir, termasuk juga tidak
menyetujui pendirian rumah ibadah itu sendiri. “Yang menjadi penghambat yang dominan (mainstream), tetapi tidak hanya di kalangan Islam. Di Sulawesi Utara, salah satu aliran
tidak dapat mendirikan gereja sebelum mendapat persetujuan dari 3 gereja besar
di sana”, ujarnya.

(surya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *