Difabel.
Kata yang belakangan ini sangat akrab dan sering dipergunakan untuk
meninggalkan kata ‘cacat’ yang dianggap mengandung kekerasan di dalamnya.
Difabel sendiri berasal dari akronim “different ability”, lebih tepatnya untuk
mewakili people with different ability, orang yang memiliki kemampuan berbeda. Mansour Fakih (Alm), orang yang memiliki peran menentukan dalam memunculkan istilah ini di Indonesia.

Konstruksi
pemahaman ‘cacat’ memang telah membudaya dan diakui di antara komunitas sendiri
belum faham dengan konsep difabel. Banyak dia ntara mereka yang merasa bahkan
menikmati posisi mereka yang memiliki kekurangan. Hal ini
disampaikan Joni dari SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel), pada acara Kemisan di PKBI Tamsis, Rabu 24
Desember 2008. Joni memberi contoh “Si A bertangan satu,” akan berbeda konteks
pemaknaannya dengan “si A cacat”. Tetapi, menugubah kata ‘cacat’ menjadi
‘difabel’ saja tidak cukup. Terpenting saat ini pemaknaan
keberadaan komunitas yang juga memiliki potensi yang sama. “Difabel punya
kesetaraan, dengan kemampuan yang berbeda,” katanya.

Semangat Bupati Sleman yang memperbolehkan difabel menjadi
PNS, tidak pernah terbukti. Pemerintah masih saja menilai
kemampuan difabel secara fisik belaka. Keterbatasan fisik diasumsikan dengan
tidak dapat berbuat banyak. Tentu hal ini sangat berlawanan dengan
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan quota 1% bagi semua perusahaan
mempekerjakan difabel. Meskipun ampai saat ini, belum
berjalan.

Dalam ranah politik, ketika disinggung keterwakilan difabel di pemerintahan, Joni mengemukakan yang utama sekarang
ini, membangun perspektif mainstream, bukan keterwakilan. “Keterwakilan
pun tidak menjamin akan mengaspirasi jumlah difabel yang minoritas.”

Difabel mainstreaming mulai digagas pemerintah melalui PP No. 468 tahun 1998, mengenai
pembangunan gedung ramah difabel. Sayangnya, karena tidak ada sanksi, sampai saat ini masih tidak ada bangunan yang universal design alias ramah. Bangunan yang dibuat masih berangkat dari asumsi yang mengabaikan kelompok difabel.

Berkaitan dengan seksualitas, hak-hak seksual yang
terlihat sepele pada difabel, ternyata mampu mempengaruhi kehidupan seseorang. Pipin, Koordinator Penelitian dan Penerbitan PSS PKBI DIY, memberi contoh, seorang tentara
Srinlanka yang pulang dengan kondisi berkaki satu mengalami kesulitan dalam
melakukan hubungan seksual dengan istri, karena posisi yang mereka ketahui
hanya satu, man on top. Sehingga jika wacana difabel tidak diberikan,
bisa saja kehidupan seks di antara suami istri dianggap sudah berakhir.

Surya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *