Kesulitan Perempuan Afrika yang Terinfeksi HIV

“Saya perawat, jadi saya tahu benar
apa yang saya bicarakan,” kata Fatima Ball ketika tampil menjadi
pembicara dalam sesi Perempuan dan HIV (6/12). Fatimah menegaskan hal
ini, karena sebagian besar partisipan tidak memberikan perhatian yang
memadai ketika dia berbicara pengalaman dirinya menghadapi kehidupan
dengan status HIV+.

Seperti juga di belahan dunia yang
lain, Fatima cukup lama menyembunyikan statusnya karena tingginya
stigma terhadap orang terinfeksi HIV di Mauritania, negeri asalnya,
Bahkan rumah sakit juga memarginalisasikan pasien dengan status HIV+.
Fatimah mengatakan mendapatkan dukungan dari anak laki-lakinya, yang
mengatakan saya tidaklah sendirian. Ada banyak perempuan lain yang
positif tetapi tetap menyembunyikan status seperti saya. Sampai saat
ini, menurut Fatima, dia hanyalah salah satu dari tiga perempuan di
Mauritania yang berani membuka statusnya.“Saya kemudian menjadi
aktivis HIV. Saya mendedikasikan diri untuk melawan stigmatisasi
terhadap orang yang hidup dengan HIV,” katanya.

Fatima Ball memang hanyalah satu contoh
dari perempuan di Afrika yang mengalami kesulitan dalam menanggung
virus mematikan ini. Dari keseluruhan total penduduk yang terinfeksi
HIV di sub-Saharan Afrika, 61% di antaranya adalah perempuan.
Kerentanan juga dihadapi oleh perempuan muda berusia antara 15-24
tahun. Perempuan seringkali disalahkan sebagai pembawa virus ke dalam
keliuarga, dan ketika pasangan itu keduanya positif, perempuan harus
menanggung pula perawatan suaminya, selain kesulitan dalam merawat
dirinya sendiri.

Faktual, perempuan itu sendiri
mengalami berbagai tantangan dikarenakan norma dan nilai sosial yang
menghalangi perempuan untuk melakukan negosiasi sehingga dirinya aman
dalam melakukan hubungan seks. Norma sosial membuka luas-luas
kemungkinan laki-laki untuk memiliki banyak pasangan. Apalagi
laki-laki tetap berposisi sebagai sumber keuangan keluarga. “Hak
seksual perempuan sama sekali tidak dilindungi,” katanya.

Contoh yang sangat baik, mengenai
problem perempuan karena norma sosial disampaikan Alice Desclaux,
antropolog dari Institut Francais de Pondichery. Menurutnya, terjadi
konflik dalam peran perempuan itu sendiri di Afrika, baik sebagai
personal, ibu maupun istri. Ketika perempuan berstatus positif HIV,
dan mengikuti konseling kesehatan, ia dilarang menyusui anaknya untuk
mencegah kemungkinan transmisi ke bayinya, tetapi ini menjadi konflik
dalam perannya sebagai ibu, karena di Afrika perempuan yang tidak
menyusui anaknya akan dianggap sebagai ibu yang tidak baik.

Menghadapi situasi seperti ini, upaya
pencegahan HIV dan AIDS tanpa mengarusutamakan isu gender memang
menjadi tidak mungkin dilakukan. Program dan kebijakan harus
dikembangkan dengan perspektif gender untuk menghadapi problem ini.
“Kita selama ini hanya selalu mengarahkan pada ‘bagaimana’ bukan
‘apa’,” kata Elisabeth Lule, dari World Bank.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *