Isu quota
30% perwakilan legislatif untuk perempuan pada kancah pemerintahan tentunya
menjadi sebuah celah yang dapat dipergunakan perempuan dalam ranah politik yang
saat ini masih didominasi laki-laki.Tetapi
memang disayangkan, masih banyak pemilih perempuan yang justru ‘alergi’ untuk
mewakilkan suaranya pada calon pemimpin perempuan dengan berbagai alasan.
Demikian disampaikan Dr. Zuly Qodir, ketua LSIP pada acara Diskusi dan
Launching Buku “Menembus Batas Politik Perempuan Indonesia, Mendobrak Tabir
Sosial, Budaya dan Agama”, Selasa, 23 Desember 2008, di Hotel Saphir Jogjakarta.
Menurut Zuly, tidak ada hal-hal
signifikan saat perempuan dijadikan pemimpin, termasuk menjadi presiden
sekalipun, kecuali untuk menjadi seorang khalifah. Perempuan sudah semestinya
berada di tengah, karena harus diakui seorang laki-laki yang berhasil pun pasti
berkat peran perempuan yang mensupport di belakangnya. Permasalahan
yang timbul justru berasal dari respon di tingkat masyarakat sendiri, yang
kemudian menciptakan stigma bagi perempuan yang aktif dan mobile, perempuan itu cenderung melalaikan keluarga. “Ini hambatan kultural,” katanya.
Di ranah
poltik, dalam penempatan calon legislatif perempuan, tidak bisa memenuhi quota 30%, seperti yang diamantkan UU. Dari 28 partai yang ada, hanya 23 partai yang lolos dengan
mengikutsertakan perempuan sesuai quota dalam calegnya. Bagi Zuly, pemilih perempuan harus memilih
wakil perempuan juga. Dalam ranah politik ini, Zuly menekankan pada tiga hal penting yang
harus diperhatikan dalam keterlibatan perempuan, dogma agama yang
sering disalahpersepsikan, adanya kesempatan politik dengan quota 30%
dan pentingnya sinergi sebuah gerakan.
Zuly memberi catatan penting, mengenai gerakan perjuangan
perempuan, terutama di Yogyakarta, yang menurutnya, tidak cukup banyak lembaga kemasyarakatan atau LSM peduli dengan
isu-isu perempuan.“Aktivis perempuan seharusnya melakukan sinergi atau collective action,
dan perjuangan yang dilakukan hendaknya tidak bersifat partikularitas atau
sendiri-sendiri berdasar masing-masing isu dan kepentingan,” katanya.
Noordjanah Djohantini, M. Si. MM, Ketua P.P. Aisyiyah, lebih
banyak menekankan peran perempuan dalam perspektif Islam. Semua ayat-ayat Al-Qur’an memiliki maksud
mulia. Perintah beramal sholeh, berlaku untuk
perempuan dan laki-laki. Perempuan memiliki kewajiban ‘melek’ dengan lingkungan di luar keluarganya. “Secara nilai, tidak perlu dipermasalahkan, tetapi dari segi
perspektif, masih perlu ditilik lagi,” katanya.
Selain pergerakan perempuan harus
bersinergi, perlu dan penting, bagaimana laki-laki, terutama
para mubaligh, ulama dan pemuka-pemuka agama memahami kiprah
perempuan. “Sosialisasi jender ke mereka itu penting,” katanya.
Surya