Keluhan tentang lambannya distribusi ARV santer terdengar. Tetapi sampai saat ini kita belum mendengar secara nyata respons dari pihak-pihak yang berwenang berkaitan dengan distribusi ARV ini. Awam hanya tahu, mekanisme distribusi ini diatur langsung oleh Departemen Kesehatan, melalui BUMN yang bekerja dalam bidang obat-obatan, lalu dibagikan ke rumah-rumah sakit yang telah ditunjuk.
Kita sangat berharap persoalan distribusi ARV menjadi perhatian utama, karena akibatnya bukan hanya seseorang lantas menjadi terlambat minum obat. Tetapi triliunan rupiah yang sudah dikeluarkan hilang sia-sia, manakala teman-teman yang sudah mengkonsumsi ARV harus terlambat mengkonsumsinya. Secara immaterial, kepatuhan minum obat juga menjadi tidak ada artinya, karena faktual ARV yang harusnya dikonsumsi tidak ada barangnya. Usaha lelah para pendamping minum obat, juga menjadi sia-sia adanya.
Secara medis, akan menjadi bermasalah, karena berhentinya mengkonsumsi ARV akan mengakibatkan berkembangnya virus secara tidak terkendali. Di sisi lain, kemungkinan yang paling dikhawatirkan adalah kebalnya virus atau menjadi resisten.
Di sinilah kita bisa memahami bagaimana teman-teman ODHA begitu serius berbincang mengenai problem distribusi ARV ini. Ini bukan soal belas kasihan, negara sebagai dewa penolong, dan Departemen Kesehatan sebagai pembawa rahmah turun ke bumi. Bukan sama sekali. Ini adalah soal penuntutan hak-hak warga negara yang hendak mendapatkan layanan kesehatan. Lain tidak.
Kekacauan distribusi ARV juga sedang menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi persoalan HIV dan AIDS. Ketidakjelasan visi dan misi para pejabat teras Departemen Kesehatan. Di sisi lain, sedang menunjukkan betapa lemahnya posisi KPAN berkaitan dengan tindakan untuk menjamin ketersediaan secara konstan ARV di rumah-sumah sakit yang telah ditunjuk untuk distribusi langsung ke pengkonsumsi.
Maka tak heran, jika nanti teman-teman ODHA dan juga masyarakat lain yang masih memiliki kepedulian serius dan tekad membaja untuk sama-sama turun jalan, menyerukan persoalan ini. Mungkin ini mekanisme yang masih tersisa, ketika teriak melalui mekanisme komunikasi yang lain tak lagi bisa menembus gendang telinga.[]