Paguyuban Masyarakat Yogyakarta untuk
Keberagaman, menggelar aksi damai menolak disahkannya RUU Pornografi
di depan Gedung Agung Malioboro, dua pekan silam. Berbagai elemen
masyarakat hadir, seperti kelompok seniman Yogyakarta, Lembaga
Swadaya Masyarakat, himpunan mahasiswa dan pelajar, kelompok
kepentingan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual), dan
masyarakat umum.
Dalam orasinya, Metodius, Ketua Merti
Yogya, menyatakan proses perumusan RUUP terkesan terburu-buru..
Padahal pengesahan RUUP akan menimbulkan banyak masalah. Budaya
tradisional terampas dan tidak bisa bertahan. Masyarakat tidak lagi
dapat berkesenian. “Lebih parah lagi, bisa mengakibatkan
disintegrasi bangsa,” katanya.
Alih-alih membela perempuan dan anak,
dengan RUUP mereka yang selama ini menjadi korban bisa menjadi korban
karena RUUP ini. Praktek kehidupan sehari-hari seperti mandi di
pinggir sungai, pedagang di pasar yang mengenakan kain brokat, ibu
yang menyusui di halaman rumah, atau buruh panggul yang bertelanjang
dada dapat dikenai sanksi karena dianggap melanggar pasal 25 ayat 1.
RUUP
juga memperbolehkan masyarakat berperan serta dalam melakukan
pencegahan terhadap aktivitas yang dianggap melanggar. Ini akibatnya
tidak sederhana, karena akan menciptakan kelompok-kelompok masyarakat
yang akan bertindak atas nama UU untuk melakukan tindak kekerasan.
“Ada kesan pemerintah mengijinkan satu masyarakat melakukan
tindakan kekerasan terhadap masyarakat lain,” kata Fajrul Rahman,
dalam rorasinya.
Paginya,
dilakukan audiensi dengan anggota DPRD DIY. Kanjeng Ratu Hemas turut
menghadiri audiensi ini. Hasilnya, DPRD DIY mendukung penolakan RUUP
yang dilakukan Paguyuban Masyarakat Yogyakarta untuk Keberagaman.
Desi