Hak Reproduksi dan Seksual Belum Dipenuhi Negara, Jangan Tinggalkan PKBI

Lima puluh tiga tahun sudah dijalani. Tiga indikator yang
dimandatkan pendiri PKBI, yaitu menurunkan angka
kematian ibu akibat melahirkan, menurunkan angka kematian bayi serta
menurunkan angka perceraian akibat perempuan atau laki laki tidak bisa
memberikan keturunan, belum sepenuhnya bisa tercapai. Demikian
disampaikan oleh Dra. Budi Wahyuni, MM, MA, Ketua Pengurus Harian
Daerah PKBI DIY,
saat menjadi salah satu narasumber diskusi publik, peringatan tahun
Ulang tahun PKBI DIY ke-43 yang sebenarnya jatuh pada bulan Desember,
di
sebuah resto Jogja, kemarin 19/2

Mba Budi, demikian panggilan akrabnya, menegaskan
bahwa keberhasilan juga sudah terlihat. Dia merujuk pada munculnya
organisasi organisasi berbasis komunitas, yang mulai peduli  ikut
berperan aktif dalam penanggulangan epidemi HIV dan AIDS merupakan
kekayaan PKBI. Lahirnya Peraturan Tingkat Desa (Perdes) oleh  komunitas
Desa, adanya ruang keterlibatan komunitas dalam struktural dan 
pengambilan kebijakan,  adanya forum guru yang mengusung kurikulum 
kespro masuk dalam muatan lokal, keberhasilan beberapa advokasi
kebijakan dan anggaran, serta cerita sukses lainnya merupakan sebuah
keberhasilan  dan kebanggaan selama perjalanan perjuangan PKBI DIY.
Namun, tandasnya kemudian, “semua itu belum lah cukup untuk mengatakan
hak hak kesehatan
reproduksi dan seksual  telah terpenuhi semua.”

Ketua Pengurus Harian Daerah (PHD) PKBI DIY ini
mencoba mendorong peran pemerintah untuk lebih serius dalam menurunkan 
angka kematian ibu akibat melahirkan. “Sebelah
kanan saya pejabat dari dinkes mengatakan jawabnya belum he. kita kalah
sama Bangladesh, India, dan negara negara berkembang lainnya. Diminta 
untuk tidak mati saat melahirkan saja, kok sulit sekali,” tandasnya.

Menurunnya
angka kematian bayi pada saat proses persalinan Ibu hamil, mungkin
merupakan keberhasilan. Namun baginya menurunnya angka itu, disatu
sisi  ternyata di barengi dengan peningkatan angka penularan HIV dari
ibu ke anak. Menurutnya hal ini sama saja dengan belum tercapainya
kondisi terhindarnya bayi dari kematian. Pasalnya infeksi HIV yang
didapat bayi, hanyalah menggeser proses kematian dari kematian karena
persalinan ke kematian pasca infeksi HIV. “ Lha ini sama saja, gak ada
bedanya, hanya digeser saja tapi kedua judulnya  tetap saja kematian
pada bayi,” ucapnya dengan nada keras.

Mandat
yang ketiga, menurunnya angka perceraian akibat perempuan dan laki laki
tidak bisa memberikan keturunan, juga belum tercapai. Menurut Mba Budi,
menurunnya angka perceraian karena persoalan tersebut belum bisa
dianggap kabar yang musti menggembirakan. Karena, lanjutnya, disisi
lain terjadi kasus poligami yang meningkat dengan alasan istri tidak
bisa memiliki anak. Sangatlah
tidak adil baginya saat negara mengatur  jumlah anak dengan tubuh 
perempuan, tapi  negara tidak melakukan intervensi apapun jikalau
perempuan ataupun alaki laki tidak bisa memiliki keturunan. “ Lha kalau
begini keadaannya, sama saja tidak memperbaiki  kondisi perempuan dan
terus saja menjadikannya korban, mana ada perempuan yang mau di
poligami,” Ujar Bewe.

Demikian pula dengan
wacana yang berkembang terkait kode etik anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang dilarang pergi ke Lokalisasi. Dirinya memandang wacana
semacam itu, merupakan ketidak pahaman sejumlah kalangan terkait
seksualitas. “Bagimana tidak, ke lokalisasi saja kog ya diatur, lha
gampang saja baju seragamnya bisa  dicopot di cantelke dan di ganti,
atau apakah lokalisasi itu tempatnya selalu disana, khan tidak bisa
dimana saja to, kok repot temen,” katanya dengan nada penuh semangat.

Bahkan Mba Budi menengarai, adanya kontrol negara semakin kuat mengatur
tubuh warganya., terlebih setelah diundangkannya UU Anti Pornorgrafi. Luna yang pernah akan
dipenjarakan hingga dorongan seks Dewan yang kemudian juga harus diatur
sedemikian rupa dengan aturan kode etik anggota Dewan. Dia tidak bisa
membayangkan dan semakin khawatir  atas pengaturan dan kontrol atas
tubuh yang menurutnya semakin keterlaluan dan salah kaprah. “Suatu
saat bisa bisa dorongan seks itu diatur seperti jam belajar masyarakat.
Dorongan seks hanya boleh pada jam sekian sampai jam sekian,” ujarnya
mengundang gelak tawa undangan diskusi publik.

Cara
pandang yang belum sama dalam memandang seksualitas ditengarai
merupakan penyebab berbagai persoalan tadi. Seksualitas masih dipandang
terkotak kotak, hitam putih, normal tidak normal, benar salah, dosa dan
tidak dosa serta moral amoral. Seksualitas masih dipandang sebatas cara
melakukan hubungan seks, masih dipandang pada ruang zina, yang ujung
ujungnya terjadi kelabakan manakala data kasus meningkat dan merebak. 
“ Yang diributkan hanyalah data, lha nek sudah ada data njur mau
diapakan, apakah kemudian sudah bisa menyelesaikan persoalan?” tanyanya kepada peserta diskusi.

Padahal,
menurut aktivis perempuan yang telah puluhan tahun malang melintang di dunia
kesehatan reproduksi, seksualitas itu sangat luas, sangat cair dan
tidak kaku. Kesehatan reproduksi dan seksualitas, merupakan  satu
kesatuan yang tak terpisahkan dan tetap akan berkembang sesuai dengan
perdebatan manusia itu sendiri. ”Terbukti manakala salah satu
narasumber tidak bisa menjawab, salahsatu anggota YOTHA yang menanyakan
dimana ruang waria tatkala difinisi sehat menurut Undang Undang masih
menyebutkan perempuan dan laki laki saja,” keluh Budi.

Semua
peroalan mempunyai hubungan, informasi yang terbatas kemudian masuk
pada seks yang tidak sehat maka Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD),
layanan umum masih diskriminatif khususnya HIV dan AIDS, berhubungan
dengan persoalan cara pandang masyarakat terkait  HIV dan AIDS, karena
persoalan tadi berlanjut menjadi hambatan saat  mengawal perubahan
perilaku. “ Pelayanan punya hubungan dengan relasi kuasa, KTD
berhubungan dengan diskriminasi, dan masih banyak persoalan lainnya.

Suasana
Yogyakarta dinilainya kondusif untuk terus memperjuangkan pemenuhan hak
Kesehatan Reproduksi dan seksualitas.  PKBI DIY tetap konsisten pada
visi misi
yang telah diberikan para pendirinya dahulu. Keberagaman relawan yang
ada, isu yang terus dikerjakan, arah kebijakan yang hingga kini masih
dijalankan merupakan bukti kesesuaian PKBI pada visi dan misinya.

Kini
dirinya kembali mengajak masyarakat, untuk melakukan mandat UU
Kesehatan, mewujudkan masyarakat yang sehat fisik , sehat rohani dan
sehat sosial. Sehat sosial inilah yang merupakan ruang dimana setiap
masyarakat bisa mengambil perannya,  untuk melakukan perubahan. “ Fisik
sudah urusannya para dokter, mental ruang lingkupnya psikolog tapi
ruang sosial adalah tanggung jawab kita semua,” tegasnya kembali.  Budi
wahyuni dalam pesannya mengatakan, “jangan  pernah meninggalkan PKBI,
sebelum hak reproduksi dan seksual dipenuhi negara dan visi-misi PKBI tercapai.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *