Upaya serius berbagai pihak dalam menangani persoalan HIV dan AIDS di Yogyakarta sangatlah harus diapresiasi dengan tinggi. Meski angka tetap belum bisa diturunkan secara signifikan, karena menurut laporan terjadi peningkatan angka 10%, bukan berarti menunjukkan kegagalan upaya-upaya serius ini. Pasalnya, HIV dan AIDS bukanlah semata-mata soal medis, melainkan berbelit dengan persoalan relasi kuasa yang timpang dalam sistem s0sial kita.

HIV dan AIDS bukan fenomena tunggal, tentang perilaku yang rentan untuk terjadinya transmisi virus, tetapi bersifat kompleks karena juga terkait dengan problem kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pemahaman ini lantas menunjukkan adanya sebuah tanggung jawab bersama untuk menghaopuskan berbagai ketidakadilan sosial, selain terus menerus melakukan berbagai upaya medis untuk bisa mempertahankan kondisi sehat mereka yang terinfkesi HIV maupun yang sudah masuk dalam kondisi AIDS. Dengan nalar ini pula, parlemen sebagai salah satu penyangga pelaksanaan sistem bernegara yang adil bagi semua, harus juga secara progresif turut serta andil dalam keseluruhan proses menangani problem HIV dan AIDS di DIY.

Di tengah-tengah upaya keras ini, karenanya kita menjadi wajar manakala sebagian orang sungguh merasa kecewa atau sebagiannya lagi tak ambil peduli ketika mendengar salah seorang anggota Parlemen di Yogyakarta, melontarkan gagasan mereka yang terinfeksi HIV maupun yang dalam kondisi AIDS untuk dikarantina. Kecewa, karena pada perkembangan saat ini, masih ada yang memiliki gagasan yang tidak bisa diterima dalam cara pandang apapun. Tak ambil peduli, karena sebagiannya menyadari, meski tidak memahami apapun mengenai HIV dan AIDS, tetapi karena diminta untuk berkomentar, maka komentarlah. Ibarat kenthongan, manakala ditabuh, maka seyogyanya harus berbunyilah.
Kita memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Dengan gagasan anggota parlemen untuk melakukahn karantina, justru menjadi titik balik dari sebuah pengkritisan dan tahapan evaluasi terhadap semua program yang teloah dirancang selama ini. Kita terlalu tinggi memberikan kepercayaan kepada anggota parlemen, yang serba tahu dan serba kuasa, sehingga soal HIV dan AIDS juga kita abaikan untuk didistribusikan kepada para anggota parlemen.

Kondisi semacam ini juga sedang menunjukkan, posisi pengembangan program HIV dan AIDS memang masih dalam aras medis dengan pendekatan biologis semata-mata. Akibtanya, hampir seluruh agenda KIE ditujukan untuk mereka yang selama ini diberi label berisiko tinggi, tidak bagi yang lain.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *