Perlu adanya kebijakan pro perempuan di tingkat desa atau kelurahan, menjadi salah satu bahasan pada Pelatihan Kader Desa yang diadakan PKBI DIY (13-15 Mei 2008) lalu. Pelatihan yang diikuti 22 peserta dari desa atau kelurahan di DIY diharapkan mampu mengembangkan kader desa yang mampu memetakan masalah, mensosialisasikan ke masyarakat, mengorganisasi dan memfasilitasi masyarakat dalam membuat peraturan-peraturan lokal dan kebijakan-kebijakan yang mengacu pada masalah faktual yang dialami masyarakat berkaitan dengan isu kesehatan reproduksi, HIV-AIDS, dan gender.
Pelatihan ini dirancang untuk membangun kader yang akan berjuang bersama masyarakat untuk mengubah kebijakan agar adil bagi semua, bukan kader yang melaksanakan dan mensosialisaikan kebijakan. “Itulah yang disebut pelatihan kader untuk advokasi. Kader kebanyakan dibentuk untuk mempermudah alur-alur kebijakan tapi tidak diupayakan untuk mengubah kebijakan,” ungkap Soepri Tjahyono, selaku fasilitator pelatihan.
Sebagai kader yang akan melakukan berbagai kerja-kerja advokasi dalam bidang HIV dan AIDS, seksualitas, gender dan HAM, mereka dibekali informasi-informasi yang dibutuhkan untuk dirinya dan masyarakatnya.
“Saya jadi tahu tentang HIV-AIDS, penularannya dari mana saja, bukan hanya dari hubungan seks saja. Saya jadi bisa memberikan pengertian ke teman-teman saya,” komentar Ferry, salah seorang peserta dari Wonosari, Gunungkidul.
Peserta juga melakukan pemetaan masalah di daerahnya masing-masing, misalnya, kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja, kekerasan dalam rumah tangga, serta kesehatan ibu hamil dan bayi. Menurut peserta, berbagai problem ini merupakan akibat tidak adanya kebijakan pro perempuan atau kebijakan lain yang bisa melindungi hak-hak perempuan. “Kesadaran mereka sudah sangat tinggi. Peserta sudah tahu betul pemetaan relasi-relasi sosial, di mana mereka harus berbuat, di mana mereka harus mendorong, mereka sudah tahu wilayah-wilayahnya. Dari hasil diskusi muncul kalau memang persoalan ini adalah persoalan sistem, maka perangkat desa harus ikut pelatihan sehingga apa yang diperjuangkan oleh para kader bisa langsung direspon oleh perangkat desa,” kata Soepri.
Menurut Suswatin, kebutuhan kebijakan ini memang sangat mendesak. Sebagaimana diketahui, masih sedikit pemerintahan desa yang memiliki gagasan untuk membuat dokumen untuk menjamin hak-hak perempuan. “Selama ini belum ada kebijakan atau peraturan desa yang mengatur masalah perempuan, KDRT, HIV-AIDS. Seperti KDRT kan undang-undangnya baru dari pusat, kalau memang itu bisa dan boleh dibuat, kemungkinan kita dari tingkat bawah bisa membuat kebijakan-kebijakan tersebut,” kata Suswatin, kader dari Sleman, memberikan gambaran. “Harapan saya ada kelanjutan dari pelatihan ini, misalnya dengan diadakan pertemuan semua kader sehingga kita semua bisa saling sharing pengalaman kita,” tambahnya.
galink