Perubahan gagasan berkaitan dengan persoalan HIV dan AIDS, dari wilayah medis ke problem sosial, membawa Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY pada pencarian kerangka teori yang bisa digunakan sebagai salah satu pijakan gerakannya. Multikulturalisme dinilai sebagai satu model teori yang memungkinkan mendukung proyek perubahan gagasan ini, terutama menyangkut persoalan pengakuan identitas kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan secara kultural. Karenanya, kebudayaan juga akan menjadi bagian dari proses perubahan pemahaman dari instrumen-instrumen antropologis dan etnografis ke pemahaman sebagai kehidupan keseharian untuk bertahan hidup.
Demikian antara lain, yang berkembang dalam Diskusi Terbuka Multikulturalisme dan Perjuangan Identitas yang diadakan PKBI DIY dengan mengambil momentum Hari Ulang Tahun ke-51 organisasi yang peduli dengan penguatan hak-hak reproduksi dan seksual, Sabtu (24/1). Diskusi yang diikuti berbagai kalangan, aktivis NGO, jaringan NGO, komunitas yang termajinalkan, organisasi berbasis komunitas, kalangan media massa dan akademisi, mengundapng narasumber Dr. ST Sunardi, Direktur Program Ilmu Religi Budaya (IRB) Pasca Sarjana Sanata Dharma Yogyakarta dan Mukhotib MD, Direktur Pelaksana Daerah PKBI DIY. “Kita mengharapkan sumbangan pemikiran untuk menemukan konsep yang tepat,” kata Budi Wahyuni, Ketua Pengurus Harian Daerah PKBI DIY, saat membuka acara.
Tantangan bagi PKBI DIY tidak sederhana. Kalau hanya mengikuti orang lain dalam mendiskusikan multikulturalisme, namanya latah. ST Sunardi menegaskan, PKBI DIY harus menemukan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan mutra strategisnya. “Tidak sekedar latah karena mengikuti trend,” katanya.
Lantas multikulturalisme seperti apa yang cocok bagi PKBI DIY? Bagi ST Sunardi justru sangat sederhana. Kita harus memahami kebudayaan sebagai sebuah kegiatan keseharian, bukan peristiwa yang lain. Kebudayaan merupakan pengalaman keseharian. “Kebudayaan itu merupakan cara bertahan hidup,” katanya.
Mengoperasionalkan ide kebudayaan yang demikian memerlukan strategi gerakan, termasuk melakukan kritik terhadap nalar pengetahuan. Pengetahuan harus dijauhkan dari nalar ‘otoritatif’, sebuah cita-cita yang tidak sederhana untuk mewujudkannya, karena kita masih terlalu sulit untuk membedakan antara kepatuhan atas dasar kesepuhan ‘seorang profesor’ dan kepatuhan terhadap teori pengetahuan yang dianutnya. “Cara pandang tentang pengetahuan kita tegaskan kembali sebagai proses dari sekian banyak kanal informasi intersubjektif,” kata Mukhotib MD.
Dalam gerakan yang dilakukan PKBI DIY, menurut Mukhotib MD, pemahaman yang dibangun, hadirnya pemilik teori di tengah-tengah pemilik pengalaman hidup, sebagai proses dialog kebudayaan intersubjektif, untuk menemukan pengetahuan baru yang menjadi milik bersama antar subjek dialog. Secara sederhana, bisa dikatakan sebagai sebuah teoritisasi pengalaman untuk menjadi pengatahuan baru, yang kepemilikannya menjadi publik. Bukan semata-mata nalar ‘representasi’, ketika seseorang berbicara seperti si tertindas, atau memberi suara kepada mereka yang terbungkam, seakan-akan seluruh sepak terjangnya merupakan wujud dari nalar si tertindas. “Dalam konteks inilah kita akan bisa melihat adanya sebuah situasi dinamis, menyejarah dalam keseluruhan ruang dan waktu. Sebuah proses yang tidak akan mematikan ekspresi-ekpresi kultural antar subyek kultural dalam proses dialog,” katanya.
Meski banyak kritik terhadap multikulturalisme yang tidak juga bisa merampungkan berbagai problem normatifnya, Mukhotib MD tetap optimis dengan pendekatan multikulturalisme ini. Dialog-dialog kultural merupakan kekuatan yang diyakini menjadi kekuatan multikulturalisme. Sebuah pemahaman yang sangat sederhana, dengan semangat multikultrualisme memungkinkan kita untuk membangun kerjasama, kesederajatan dan saling memberikan apresiasi antar subyek di tengah-tengah perkembangan sosial yang makin kompleks.
Intersubjektif, inilah dalam gerakan multikulturalisme yang sedang di bangun PKBI DIY, yang diapahami sebagai identitas-identitas kultural yang terus menerus saling berinteraksi, berdialog, bernegosiasi dengan kehendak untuk sebuah kebaikan bersama. Identitas kultural tidak semata-mata identitas sosial–yang paling kuat didiskusikan soal kelas, ras, etnis, dan identitas politik–biasanya soal nasionalisme dan kewarganegaraan]. Identitas sosial menggambarkan posisi subjek dalam relasi dan interaksi kulruralnya, sedangkan identitas politik menempatkan posisi subjek dalam suatu komunitas dan secara bersamaan menjadi penanda adanya pembedaan dengan yang lain. “Pada operasi kerja inilah, kemudian melahirkan politik pengakuan, yang berkuasa melakukan hegemoni atas lainnya dan secara terus menerus memproduksi piranti-piranti pengetahuan untuk melanggengkan kuasanya. Melalui kuasa inilah mereka yang tidak memiliki ‘power’ akan diperangkap dalam ruang-ruang yang tidak menguntungkan,” kata Mukhotib MD.
Yang dihadapi mitra strategis PKBI DIY memang sedikit agak rumit, karena identitas mereka sudah dibiasi moral. Segalanya selalu diukur hanya dengan nilai baik dan buruk. Kita tidak pernah memiliki pilihan lain dalam menilai kenyataan hidup. ST Sunardi mempertanyakan, kenapa tidak memungkin menilai dari sisi keindahan, atau dimensi penilaian yang lain. Bagaimana menilai manusia, bukan dari baik dan buruk tetapi dari sisi manfaatnya. “Ukuran kebaikan manusia ketika mereka semakin berfaedah bagi yang lain,” kata ST Sunardi.