Kekerasan Gender Berbasis Online: Niatnya Sih Bercanda Aja, Eh Ternyata Berbahaya!

Oleh: Felisitas Friska

Pandemi covid-19 telah menghasilkan banyak kebiasaan baru. Jika sebelumnya kita melakukan sebagian besar kegiatan dengan bertatap muka secara fisik, sekarang untuk sekolah dan pekerjaan teralihkan melalui tatap layar. Seolah tak ingin ketinggalan tren, kekerasan seksual juga merambah di media online ini. Pelecehan seksual dalam ranah online ini terangkum dalam Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO). Bentuk pelecehan lewat catcalling siul-siul tidak hanya lagi kita jumpai ketika berjalan seorang diri, tapi juga ketika berada di media sosial.

Pergeseran kehidupan ke dalam dunia digital seperti ini lah yang menjadi membahayakan untuk kita semua. Karena siapapun berpotensi menjadi korban KGBO. Sayangnya, pengenalan KGBO masih tergolong minim sehingga masyarakat masih tabu dalam menerima realita ini. Seringkali KGBO dapat kita jumpai melalui sapaan, candaan, saling bertukar kirim gambar yang berujung pelanggaran privasi, cyber grooming, cyber harassment, hingga hacking yang tentunya merugikan banyak individu. Hingga akhirnya, media sosial dianggap tidak memiliki ruang aman bagi korban, terkhusus perempuan.

Menguatnya pola perilaku pelecehan online ini juga terjadi akibat kondisi pandemi yang mau tidak mau menjadi serba digital. Sebagai contohnya, kita pasti sering menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi atau bersosialisasi dengan orang lain. Whatsapp, instagram, line, twitter, hingga telegram juga menjadi media komunikasi yang semakin popular ketika pandemi merebak di Indonesia. Tak dipungkiri lagi hal tersebut terjadi sebagai dampak perubahan pola interaksi masyarakat yang terjadi secara cepat dan menjadi suatu hal yang tidak dapat diprediksi. Lebih jauh lagi, penggunaan aplikasi pencari jodoh seperti tinder, bumble, dan sebagainya juga banyak digunakan masyarakat karena rasa bosan hingga jenuh atas repetisi kegiatan yang mereka alami.

Dengan adanya praktik kekerasan berbasis online, kita kembali mempertanyakan apakah kita bisa sepenuhnya mempercayakan diri kita pada media sosial? Apakah rasa bosan atau bahkan kesepian kita dapat tersalurkan secara aman melalui media tersebut? Jelas kita ketahui, bahwa jawabannya tentu saja tidak. Kejadian ini dibuktikan di sepanjang 2020, tahun pertama pandemi, pergeseran kehidupan menjadi online fase pertama, kekerasan berbasis gender online meningkat. Berdasarkan LM Psikologi UGM, terjadi kenaikan hingga 300% untuk kasus KGBO. Jika diangkakan, data kasus ini sudah mencapai 940 kasus dari 241 kasus menurut catatan tahunan Komnas Perempuan.

Lantas bagaimana pelecehan berbasis gender online ini bisa terjadi? Praktik ini terjadi ketika banyak masyarakat berpindah menggunakan media sosial sebagai hiburan di kala bosan atau kesepian. Pada momen ini lah pelaku kekerasan online menjalankan aksinya. Pun, banyak media yang dapat digunakan pelaku untuk melancarkan aksinya dalam melakukan praktik pelecehan secara online.

Belakangan ini, banyak pelaku bergerak dengan menyebarkan foto korban untuk melakukan pengancaman, pemaksaan, hingga pemerasan. Alih-alih khawatir terjerat UU ITE, para pelaku justru semakin senang ketika mengetahui bahwa korban mengalami ketegangan atau keresahan karena ancaman yang diberikan. Pelancaran aksi ini juga terjadi melalui berbagai media daring yang telah disebutkan di awal.

Twitter yang awalnya banyak digunakan sebagai media impulsif pun lama-kelamaan menjadi media yang dapat menyudutkan beberapa  korban perundungan seksual secara online. Ditambah lagi, akhir-akhir ini terdapat kasus yang panas dibicarakan ketika public figure melakukan live instagram melakukan ujaran yang terdengar melecehkan korban, yang pada saat itu kebetulan adalah perempuan. Selanjutnya penyebaran privasi fitur close friend yang menimpa public figure yang sama turut menunjukkan bahwa pergeseran kehidupan menjadi daring tidak menjamin berakhirnya pelecehan bahkan kekerasan seksual. Mengingat persebaran aksi candaan yang salah framing ini seakan memberi normalisasi atas perbuatan yang salah di masyarakat. Banyak masyarakat menganggap lumrah karena tidak mengetahui Yang menjadi patut disayangkan karena belum banyak pihak yang berani ambil sikap atas adanya praktik pelecehan yang seperti ini.

Melihat apa yang terjadi, pelaku pelecehan seksual jelas salah, tapi ketersediaan perlindungan hukum yang disediakan oleh negara juga tercatat masih minim. Tanpa adanya perlindungan yang sah, korban juga tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali kekuatan tangan netizen membantu korban mendapat keadilannya. Justru gertakan dan kekuatan masyarakat sipil lah yang banyak membantu korban pelecehan gender berbasis online ini. Sayangnya, gertakan hingga pelaporan pada pihak berwajib terkadang tidak memberi efek jera pada pelaku pelecehan. Sebagai contoh, dalam pelaporan salah satu kasus pelecehan yang menimpa pegawai salah satu instansi pemerintahan, tersangka tanpa rasa malu malah balik melaporkan korban dengan alasan pelanggaran UU ITE. Padahal, korban jelas sebagai pihak yang patut diberi perlindungan di sini.

Lemahnya perlindungan ini semakin menunjukkan bahwa negara belum memberi perlindungan menyeluruh terhadap korban pelecehan seksual, baik secara offline maupun online. Kebiasaan, pemakluman, hingga pergeseran pola kehidupan menjadikan perilaku ini serasa lumrah dan wajar pada era sekarang ini.

Selain itu, pelecehan online melalui media sosial ini bisa terjadi karena banyaknya akun yang tidak berlandaskan identitas asli. Sehingga, pelaku pelecehan online bebas melakukan tindakan yang mereka inginkan karena merasa perilakunya tidak akan diketahui siapapun selain dirinya. Pelaku bebas mengomentari seseorang, mengunduh gambar, dan mengunggah ulang konten korban sasarannya. Sebagaimana disampaikan oleh Nur Hayati dalam jurnalnya yang berjudul Media Sosial dan Kekerasan Berbasis Gender Online Selama Pandemi Covid-19, realita ini menunjukkan bahwa pelecehan online juga dipengaruhi oleh lemahnya keamanan dan sistem media sosial. Belum lagi banyak terjadi kebocoran atau pencurian identitas asli melalui media sosial. Mau membawa pelaku ke jalur hukum pun masih minim dasar hukum yang menjamin dan belum mengakar kuat, menyalahkan korban juga tidak bisa, apalagi menyalahkan platform media sosialnya. Kondisi ini menempatkan kita pada posisi maju kena mundur kena.

Celotehan seperti “cantik, ngamar yuk”, “bagi fotonya dong”, “berapa ongkos kamu?”, “nggak sekalian foto telanjang aja?”, hingga “mau oral aku nggak?” menjadi bukti bahwa banyak masyarakat yang melakukan juga mendapat pelecehan secara online melalui media sosial. Yang menjadi masalah adalah ketika kedua belah pihak sama-sama tidak menyadari adanya praktik pelecehan itu dan malah melanggengkan praktik pelecehan tersebut kepada temannya atau koleganya. Nyatanya perubahan pola hubungan interpersonal yang terjadi di era serba online ini membuat kita tidak menyadari candaan berbau seksualitas yang menjadi berbahaya bagi orang lain.

Sebagai praktik pelecehan yang terfasilitasi melalui teknologi, kekerasan berbasis gender online akan memberi dampak fisik, psikis, hingga seksual kepada korban. Minimnya perlindungan bahkan absennya pemerintah dalam penegakan perlindungan hukum untuk korban pelecehan menjadikan masyarakat enggan, takut memproses apa yang dialami mereka. Hingga kekerasan berbasis gender online ini berakhir menjadi momok bagi masyarakat.  Tidak hanya soal kekerasan dalam objektifikasi tubuh dan penghinaan fisik, komentar dan serangan seksual secara verbal maupun grafis dalam media sosial telah menciptakan pola hubungan baru yang semakin merusak anggapan soal seksualitas.

Meskipun media sosial memudahkan pola hubungan yang telah bergeser menjadi serba online, bukan berarti kita bisa berlindung dibalik layar media sosial dengan menghina hingga melecehkan orang lain. Pun, penyimpangan melalui media sosial sudah semakin banyak bermunculan. Selain itu, perubahan pola interaksi ini dapat menjalar pada pembiasaan interaksi secara langsung. Ketika terbiasa bercanda dengan unsur seksualitas, bisa jadi ketika bertemu orang secara langsung, kita cenderung melakukan hal serupa. Hingga akhirnya, permasalahan kekerasan berbasis gender online dapat menyasar ke permasalahan lain yang membahayakan orang lain. Belum lagi apabila penggunaan media sosial dijadikan tren pelanggengan pelecehan seksual.

Kemajuan teknologi dan pergeseran kehidupan menjadi serba online bukan berarti kita bisa melakukan segala sesuatu yang kita inginkan. Belanja online, berkenalan dengan orang banyak melalui platform aplikasi mungkin memang kebebasan yang berhak kita dapat. Namun, penyampaian ujaran atau penyebaran foto video orang lain tanpa persetujuan orang yang bersangkutan ini adalah pelanggaran privasi dan bisa berujung ke dalam pelecehan berbasis gender online. Media sosial seharusnya dapat dijadikan sebagai media untuk membangun relasi dengan orang lain, bukan sebagai media terjadinya kekerasan gender berbasis online. Untuk itu percepatan pengesahan RUU PKS memang perlu segera dilakukan untuk memberi perlindungan untuk korban pelecahan berbasis gender online. (fel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *