Dalam waktu dua hari (16/17 Desember 2008), di Gunungkidul, tiga
orang lanjut usia melakukan tindak bunuh diri, dua orang laki-laki
lanjut usia berusi 86 tahun dan 1 perempuan berusi 75 tahun. Banyak
hal bisa dikritisi berkaitan dengan tragedi kemanusiaan ini.
Setidaknya, bisa kita soroti pada tiga level persoalan mendasar.
Masing-masing level harus bisa menjadi titik sumbu untuk melihat
berbagai persoalan berkaitan dengan masalah yang dihadapi orang-orang
lanjut usia. Tentu saja, situasi yang dihadapi oleh kelompok miskin,
seperti di Gunungkidul ini.
Orang Lanjut Usia, merupakan bagian lapisan puncak, yang
seringkali tidak lagi mendapatkan perhitungan dalam dimensi apapun,
kecuali malah hanya dianggap merepotkan saja. Banyak orang-orang
lanjut usia, yang menghadapi ketakutan masa depan, jika saja
anak-anaknya akan mengirimkan mereka ke perawatan sosial baik yang
disediakan pemerintah maupun swasta. Masa dulu kita sering
menyebutnya sebagai ‘panti jompo’. Ketakutan ini tentu saja karena
dibayangkan sebagai proses pembuangan, ketika anak-anak mereka sudah
mengalami proses perluasan tempat tinggal dan tidak lagi mungkin
secara fisik, menunggu, merawat dan menyediakan waktu untuk apa saja
yang dibutuhkan orang lanjut usia.
Pada konteks inilah, kritik pertama muncul, perkembangan dan
perluasan migrasi dalam level kependudukan telah membawa suatu
perubahan serius dalam konstelasi dan struktur keluarga. Makna
keluarga, sudah mengalami metamorfosis, dari makna kebersamaan,
keberlindungan, ketentraman, menjadi sebuah mekanisme kebersamaan
yang bisa saja kadang-kadang, diukur dalam ketersediaan finansial.
Dimensi spiritualitas keluarga sudah menghilang dan menjadi
ruang-ruang negosiasi waktu dan ekonomi. Perubahan semacam ini, tidak
bisa diterima begitu saja, bagi generasi lanjut usia yang saat ini
mencapai hitungan 86 tahun, misalnya. Nomo Kariyo, salah satu orang
lanjut usia yang memilih mengakhiri hidupnya, bisa jadi ada dalam
lingkar belitan yang demikian. Keputusasaan menghadapi kenyataan
hidup di penghujung usianya, entah karena sikap tidak sesuai dengan
terjadinya proses metamorfosis keluarga, tidak seperti yang
dibayangkan pada saat merencanakan keluarganya, mungkin karena
kesakitan yang amat panjang, tak kunjung sembuh–istilah jawanya loro
tuo–atau karena persoalan lainnya. Yang pasti, ia berada pada
situasi kesendirian yang amat sendiri pada puncaknya dirinya yang
sendiri. Menurut Iman Budhi Santoso, yang pernah melakukan
sianu tentang fenomena bunuh diri di Gunungkidul, mereka yang memilih
bunuh diri itu sungguh-sungguh sedang dalam dirinya sendiri
yang ada dalam puncak kesendiriannya, sehingga ia benar-benar merasa
sendiri.
Kritik kedua, bisa dikembangkan dalam kerangka sistem yang lebih
struktural. Berbagai kebijakan tidak dikembangkan secara
sungguh-sungguh menyangkut persoalan yang dihadapi mereka yang ada
dalam usia lanjut. Dalam kasus perempuan lanjut usia, yang melakukan
bunuh diri dalam usia 86 tahun, dia tidak saja mengalami persoalan
yang dihadapi teman sesusianya Nomo Kariyo. Bebannya kebih berat
lagi, karena keperempuanannya. Dalam kesehatan reproduksinya,
misalnya, perempuan lanjut usia hampir tidak pernah dipikirkan
situasi dan kondisinya. Dalam problem hak-hak perempuan, misalnya,
tak pernah tersentuh di lanjut usia ini. Kesemuanya, tentu saja, akan
menjadi titik kritis bagi pendekatan berbagai program untuk perempuan
yang semuanya berpusat pada yang ‘produktif’.
Jika tengarai ini benar, maka seluruh gerakan kita ternyata ada
dalam setiran nalar kapitalisme global, meskipun gerakan itu sendiri
meneriakkan anti globalisasi. Orang lanjut usia di Gunungkidul itu,
bagian dari korban globalisasi ekonomi yang terinternalisasi dalam
pendekatan-pendekatan program bahkan mungkin ideologi yang sudah
tidak terasakan lagi. Saatnya kita mulai hendak mengkritisi diri kita
sendiri. Sehingga, mendatang, kita tidak lagi mengorbankan orang lanjut usia,
karena kesesatan kita dalam merumuskan cara berpikir dan nalar kritis
yang sudah menjadi tumpul[]