Meneguhkan Kembali Semangat Advokasi Perkumpulan

Hari ini, 23 Desember, 51 tahun lalu,
para pendiri Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI),
memberikan perhatian khusus terhadap persoalan perempuan, tingginya
Angka Kematian Ibu (AKI). Jelas belum ada wacana hak kesehatan
reproduksi dan seksual di Indonesia, kala itu. Tetapi para pendiri
yakin benar, perempuan harus bebas dari kematian yang diakibatkan
oleh takdirnya, memiliki rahim, mengalami menstruasi, sehingga
memungkinkan untuk mengalami kehamilan. Terlalu muda menikah, terlalu
sering melahirkan, kekurangan gizi bagi perempuan, sebagian faktor
penyebab perempuan harus kehilangan nyawa dari proses kehamilan dan
persalinannya. Karenanya, keluarga harus melakukan perencanaan agar
perempuan tidak harus mengalami kematian.

Gerakan layanan dan informasi terus
dikembangkan untuk bisa mengurangi resiko perempuan mengalami
kematian. Kita masih bisa melihat proyektor tua sebagai alat pemutar
film-film informasi mengenai kesehatan perempuan, yang kini tersimpan
di PKBI Pusat. Roll-roll film lebar yang mulai lapuk dimakan zaman.
Semuanya menjadi saksi kegigihan para pendiri Perkumpulan kala itu,
dr. Soeharto dan kawan-kawan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak
bisa dilepaskan begitu saja dari perkembangan Perkumpulan. Semua
tercatat sebagai monumen megah dalam mencapai visi Perkumpulan.

Apa yang dilakukan Perkumpulan
tampaknya mulai menarik perhatian banyak pihak. Tahun 1972, misalnya,
Perkumpulan mendapatkan dukungan dana untuk membangun
gedung—berukuran mewah untuk konteks tahun itu—yang kini menjadi
sekretariat kantor pusat dan wisma sebagai salah satu bagian topangan
dana program Perkumpulan. Ratu Belanda berkenan memberikan dukungan
ini. Berbagai lembaga donor mulai memberikan dukungan, apa yang
dilakukan Perkumpulan diakui sebagai persoalan serius bagi perempuan.

Para pendiri dan penerus Perkumpulan
juga menyadari, persoalan yang dihadapi perempuan, bukanlah menjadi
tanggung jawab organisasi sosial, seperti Perkumpulan—ketika itu
belum ada istilah NGO, apalagi LSM sebagai produk hegemoni bahasa
Orde Baru—melainkan menjadi tanggung jawab negara terhadap warga
negaranya. Perkumpulan melalui pertemuan nasionalnya, mendesakkan
didirikannya sebuah lembaga khusus yang akan menangani persoalan ini.
Lalu, berdirilah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), yang
kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). Lembaga ini yang pada akhirnya mengantarkan Soeharto
mendapatkan pernghargaan kependudukan dari PBB.

Inilah, cikal bakal semangat advokasi
Perkumpulan. Sejak awal memang merupakan lembaga yang melakukan
advokasi struktural. Gerakan layanan dan informasi, merupakan bagian
dari gerakan advokasi yang sesungguhnya. Maka, manakala hingar bingar
advokasi dikembangkan sejak awal 90-an, bagi Perkumpulan sesungguhnya
bukanlah hal yang asing. Melainkan sudah sejak awal dilakoninya.

Kini, jika kita bicara tentang
advokasi, tidak lain, hanyalah sebagai penerus tradisi gerakan
advokasi yang sudah diusung sejak awal. Kita bukanlah sama sekali
pelopor pengembangan strategi advokasi di Perkumpulan. Para pendiri
dan generasi awal Perkumpulan sudah melakukannya. Dan berhasil.

Kalau tampak sekali beda, tentu saja
semata-mata metode dan caranya yang berbeda. Perkembangan berbagai
strategi gerakan masyarakat sipil, telah mengalami kemajuan yang
begitu cepat dan luar biasa. Penemuan berbagai metode pembelaan
hak-hak warga negara, sudah mengalami berbagai metamorfosa secara
signifikan. Kita sudah mengalami masa-masa hiruk pikuk kedermawanan
sosial, community development, dan saat ini orang berhiruk pikuk
dengan gerakan advokasi. Bahkan kelatahan begitu dahsyat, sehingga
advokasi juga digunakan negara untuk memberikan fasilitas bagi warga
negaranya.

Kini, hampir setiap organisasi
masyarakat sipil, mengatakan dirinya melakukan advokasi. Mengupayakan
nasi bungkus untuk warga negara yang sedang kebanjiran saja, mereka
sebut advokasi.

Di usia 51 tahun, Perkumpulan sudah
saatnya merumuskan kembali arah dan makna advokasi, yang dulu pernah
dirintis dan bahkan menjadi pelopor dalam gerakan advokasi. Dengan
gairah pemeliharaan semnagat para pendiri dan komitmen mengabdi pada
kepentingtan rakyat kebanyakan, kita yakin, sebagai organisasi
pelopor, akan mampu menjadi trend setter gerakan sosial di Indonesia.
Inilah semangat yang harus tetap dipelihara, oleh siapapun yang
meneruskan gerak langkah Perkumpulan. Sejak awal, kita bukanlah
kelompok latah, melainkan pencetus.[]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *