Pada tanggal 6 Januari 2009, dilakukan Evaluasi Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, di Gedung Darma Satya Setda lantai II, yang melibatkan berbagai stakeholder penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Semarang. Sebagaimana dikutip Harian Suara Merdeka (8/1), salah satu usulan yang muncul adalah melakukan pencekalan terhadap Pekerja Seks yang sudah diketahui berstatus HIV positif agar tidak melayani tamu.
Banyak hal yang bisa diangkat ke permukaan dari munculnya usulan ini. Paling mendasar adalah kesadaran bagi kita semua, keterbatasan pengetahuan dan informasi yang benar tentang HIV dan AIDS ternyata memang bukan monopoli orang awam semata. Kita tidak bisa begitu saja menganggap, setiap provider kesehatan, serta merta mengetahui dengan sebenar-benarnya persoalan HIV dan AIDS. Tidak sedikit dari mereka yang memang sungguh-sungguh tidak mengetahui secara persis, sebagaimana direpresentasikan oleh dokter Umi. Sehingga, ‘cekal’ harus menjadi muncul sebagai tindak pencegahan. Ketidaktahuan ini juga sejajar dengan usulan seorang anggota parlemen di Yogyakarta, yang mengusulkan untuk pencegahan peningkatan prevalensi HIV dan AIDS dengan melakukan karantina mereka yang sudah diketahui berstatus HIV positif.
Perspektif jender menjadi soal lain yang memang harus diakui belum menjadi nalar berpikir bagi setiap provider kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Ketiadaan perspektif jender menjadi tidak sederhana akibatnya. Absennya perspektif ini, menjadikan cara pandang terhadap pekerja seks, misalnya, semata-mata sebagai persoalan individu yang tidak memiliki kaitan dengan sistem nilai yang lain. Kritisisme terhadap berbagai kebijakan politik menjadi tumpul dan tidak memiliki konteks dalam memandang berbagai persoalan kehidupan, termasuk di dalamnya peminggiran terhadap perempuan.
Perspektif HAM semakin bertambah-tambah jauhnya, yang mengakibatkan cara pandang dalam pelayanan kesehatan sebagai sebuah tindakan moralis, bukan sebuah upaya untuk memberikan secara penuh hak kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus ditanggung negara. Pencekalan terhadap pekerja seks yang positif untuk tidak melayani, tidak saja sedang memberangus hak ekonominya, tetapi juga sedang mengandaikan, tiadanya hak-hak dasar yang lain, sebagai warga negara. Halangan untuk melakukan pekerjaan, tentu saja juga melanggar UUD 1945, sebagai acuan tertinggi dari hukum nasional di negeri ini.
Pada akhirnya, dokter Umi sedang merepresentasikan, kepada kita semua, bagaimana sesungguhnya, kita sedang bekerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang semestinya dipandang sebagai persoalan sosial, tetapi ditempatkan dalam satu titik kecil dari bagian kehidupan itu sendiri, sisi medis. Keterpenggalan semacam ini, tentu saja, juga sedang menegasikan semangat KPA yang mengemban mandat Perpres No. 75 Tahun 2006, untuk melakukan penanggulangan HIV dan AIDS tidak saja secara terkoordinasikan, melainkan juga intensif, menyeluruh dan terpadu. Tentu saja, nilai-nilai ini tidak layak jika hanya dipahami dalam ruang lingkup medis.
Kita sudah lama menyerukan, agar penanggulangan HIV dan AIDS harus diletakkan pada persoalan sosial, yang di dalamnya akan dibongkar pula adanya relasi kuasa yang timpang. Pendekatan multikultur harus digunakan, sehingga tidak saja menyatukan perspektif HAM dan Jender, tetapi juga memikirkan soal identitas kultural, dan tentu saja menyangkut soal keberagaman orientasi seksual. Sinergitas berbagai gerakan sosial sudah saatnya dibangun untuk menggerakkan seluruh komponen bangsa ini untuk berkehendak terlibat dalam keseluruhan prosesnya. Dengan demikian, persoalan HIV dan AIDS akan menjadi persoalan gerakan sosial, seperti juga gerakan petani, gerakan buruh, dan gerakan pilih perempuan di parlemen.[]