“Pada saat itu, menghadaplah ibu tiri Sang Budha Gautama bersama dengan 500 perempuan memohon agar ditasbih menjadi biksuni. Tetapi Sang Budha tidak segera memenuhi permintaan itu. Sang Budha hanya berkata, ‘Jangan gegabah’. Meski pada akhirnya Sang Budha mengabulkan permohonan itu dengan mewajibkan mereka mematuhi delapan peraturan,” terang Wilis Rengganiasih, perwakilan Komunitas Budhist Solo, yang menjadi pembicara dalam acara Diskusi Publik dengan tema Kepemimpinan Perempuan dalam Religiusitas, Senin (28/7) di Auditorium PWNU DIY.
Lebih lanjut Wilis menerangkan, dalam agama Budha, tidak mudah bagi seorang perempuan untuk menjadi biksuni. “Dalam tradisi Terawada yang merupakan tradisi yang konservatif, perempuan tidak berhak menjadi biksuni. Tetapi tradisi ini hancur sejak abad ke-11 Masehi. Perempuan dianggap mempunyai karma yang lebih rendah dari laki-laki karena perempuan mengalami menstruasi, melahirkan, menyusui, dan menunggu laki-laki pulang ke rumah. Untuk dapat setara dengan laki-laki dan untuk mencapai pencerahan, jalan yang paling cepat adalah menjadi biksuni. Seorang perempuan yang akan menjadi biksuni harus melalui proses ordinasi selama 12 tahun. Kasus yang pernah terjadi yaitu seorang perempuan yang telah mengambil ordinasi di Taiwan namun di Indonesia statusnya tidak diakui. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis. Demikian berat perjuangan perempuan Budha untuk menjadi biksuni,’ tegas Wilis.
Sementara itu, Victoria Rue, feminist dari Amerika yang juga seorang pastor menjelaskan, dalam sejarah Yesus tak pernah melantik siapa pun untuk menjadi pemimpin umat Katolik. “Berdasarkan catatan sejarah kepemimpinan perempuan dalam agama Katolik, abad ke-3 Masehi pastor perempuan sebenarnya sudah ada. Hanya mereka berorganisasi dari rumah ke rumah karena mereka tidak diakui oleh publik. Pada abad ke-12 Masehi, seorang pengacara laki-laki mengumpulkan hukum-hukum gereja yang pada akhirnya menjadi hukum gereja saat ini. Namun ada beberapa catatan yang dihilangkan yang merugikan kaum perempuan karena kemudian hukum gereja tersebut menyatakan bahwa hanya laki-laki yang menerima sakramen kudus.”
Namun seiring dengan berjalannya waktu, pastor perempuan mulai banyak bermunculan di hadapan publik. Misalnya di negara Ceko, seorang pastor laki-laki melantik empat perempuan menjadi pastor yang nantinya akan dikirim ke penjara khusus perempuan. ”Di beberapa negara di Eropa, gereja secara terbuka sudah melantik pastor perempuan. Sayangnya, Gereja Vatikan tidak menganggap perempuan sebagai pemimpin agama Katolik. Lain halnya dengan gereja Protestan. Untuk itu kita perlu berdialog dengan pendeta Protestan. Di samping itu masih ada kekhawatiran dari perempuan untuk menjadi seorang pastor karena stigma dari masyarakat yang mengganggap bahwa perempuan yang menjadi pemimpin gereja adalah menjadi lesbian. Lesbian dianggap mengancam sistem patriarki,” tutur Victoria lebih lanjut.
Sedangkan dalam aturan Islam, menurut Hindun Annisa, aktivis dari Pesantren Krapyak, tidak ada penasbihan untuk menjadi imam. ”Jadi untuk menjadi seorang kyai, dia tidak harus diakui oleh kyai yang lebih senior. Islam sudah memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, misalnya Ratu Balqis. Hanya sayangnya, seringkali orang-orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan ayat-ayat dalam Al Quran untuk melegitimasi kekuasaannya demi menguatkan sistem patriarki. Padahal banyak ayat Al Quran yang mendorong perempuan untuk menjadi pemimpin. Inilah yang menghambat perempuan untuk menjadi pemimpin dalam Islam,” tegas Hindun.
Dalam budaya patriarki yang demikian kuat, tidak mudah bagi perempuan untuk tampil di depan publik. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender masih harus dilakukan hingga saat ini.
Desi