“Saya masih punya iman, tetapi saya tidak mempercayai agama,” istatement singkat Robert (Impulse) yang merasa, dialog akan percuma jika yang mengikuti masih ingin menguasai yang lain, dalam diskusi Problematika Dialog Antar Iman di Indonesia, kerjasama DIAN/Interfidei dan Impulse, 2 Agustus 2008.
Mega Hidayati, narasumber dalam diskusi, memaparkan, hambatan dialog antar agama karena perbedaan latar budaya, tradisi dan pengalaman. “Kesemuanya menyebabkan timbulnya konsep-konsep keberanan berbeda,” katanya.
Prof. E. Gerrith Singgih PhD, mengutip disertasi Tn. Sumartana, mengatakan, kesalahfahaman historis menjadi jurang, adanya persaingan (rivalry) antar agama, terutama Kristen dan Islam. Keduanya berpegang pada Kalimat (firman) yang eksklusif, diyakini sebagai kebenaran mutlak. Soal lain, anggapan agama Kristen ‘agama Belanda’, Islam berakar pada penduduk Jawa. Hubungan-hubungan semakin tegang, terlebih dengan adanya purifikasi (pemurnian) dalam bentuk Arabisasi Islam dan westernisasi kekristenan. “Terjadilah permusuhan,” ujarnya.
Kesalahfahaman sejarah bisa ditemukan pada abad ke 19, melalui kampanye-kampanye pemurnian muslim Jawa dan Kristen Jawa, yang sebelumnya dapat bertemu di Kejawen. Kampanye atau sifat misionaris mengenyampingkan nilai-nilai Islam, muatan lokal yang dianggap penuh takhyul. “Sumartana menilai, prasangka sesuatu yang jelek dalam hubungan Islam dan Kristen,” lanjutnya.
Menurut Gerrith, hal pertama yang harus disadari, setiap individu memiliki prasangka, tetapi sebagai proses yang berjalan terus dalam interaksi dengan orang lain. ” Prasangka kemudian dapat menjadi pemahaman,” ujarnya.
(surya)