Youth Forum Yogyakarta mulai menggugat. Mereka menuntut dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tidak saja yang berkaitan dengan diri mereka sebagai remaja, tetapi pada berbagai persoalan kemanusiaan lainnya. Kehendak-kehendak semacam ini haruslah dipandang secara positif, proses pendewasaan di kalangan remaja mulai menuju ke arah kematangan. Mereka tidak lagi hanya suka hura-hura, kebut-kebutan dan pacaran tanpa aturan, sebagaimana dilabelkan orang-orang dewasa kepada kelompok remaja.
Memang bukan suatu hal yang mudah untuk secara dewasa pula kalangan tua untuk bisa menerima remaja, duduk bersama untuk mengambil sebuah kebijakan. Keangkuhan pengetahuan, dan merasa paling berpengalaman merupakan akar paling dasar dari keengganan kaum tua. Pembuatan jarak, bisa jadi merupakan bagian dari sifat dasar manusia, enggan menerima masukan kelompok lain, begitu juga keengganan kalangan tua untuk mendengarkan dan menerima apa adanya kritik dan masukan kalangan remaja.
Persoalan lain, merumuskan model partisipasi remaja dalam proses pengambilan kebijakan publik. Memang sudah cukup menggembirakan, manakala Youth Forum Yogyakarta mendapatkan komitmen dari Komisi D DPRD DIY untuk mengundang remaja manakala akan membahas kebijakan yang berkaitan dengan remaja. Mendengarkan suara remaja, tidak dalam kapasitas orang tua dan remaja, melainkan dalam posisi yang sama, sebagai warga negara yang sama-sama memiliki kewajiban untuk memikirkan masalah-masalah kemanusiaan, dan memiliki hak yang sama untuk memutuskan berbagai kebijakan dalam mengatasi masalah kemanusiaan.
Youth Forum Yogyakarta, 12 Agustus 2008, akan merayakan Hari Remaja Internasional. Mereka merancang berbagai agenda kegiatan yang kreatif dan menarik. Saatnya kalangan tua untuk membuktikan komitmen dan kerendahan hatinya. Mendengarkan apa yang hendak mereka katakan, termasuk manakala mereka akan menggugat soal hak remaja untuk bebas dari asap rokok, bebas dari pengeluaran dari sekolah, manakala mereka mengalami kehamilan tidak diinginkan, dan tuntuan untuk bebas dari segala tindak diskriminatif dan tidak manusiawi. Kalangan tua juga tidak lagi pada tempatnya, menolak tuntutan remaja untuk dikembangkan pendidikan kesehatan reproduksi masuk dalam muatan lokal. Kita semua masih ingat, bagaimana Natalia, remaja perempuan dari salah satu sekolah di Kulonporgo, memekikkan dengan yakin, “saatnya kesehatan reproduksi diberikan kepada remaja.” Soalnya, bagaimana kita memang dengan penuh kebesaran hati mendengar tuntutan remaja dan tentu saja memenuhinya tanpa prasangka.[]