Selasa (10/12) bertempat di Museum Benteng Vredeberg, Malioboro, Yogyakarta, berlangsung sebuah diskusi publik dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional dengan tema “Penegakan Hak Asasi Manusia LGBTIQ di Indonesia”. Diskusi Publik ini diselenggarakan oleh beberapa LSM yang selama ini aktif dalam memperjuangkan HAM, antara lain PKBI DIY, Ardhanary Institute, Gaya Nusantara, Yayasan Srikandi Sejati, Arus Pelangi, PLU Satu Hati, Vesta, Rumpun Tjut Njak Dien, dan LKIS.

 

 Pada acara ini juga diluncurkan buku Yogyakarta Principles (Prinsip-prinsip Yogyakarta). Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang Hak Asasi Manusia  (HAM) yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-prinsip ini menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan, di mana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.

 

Penyusunan Prinsip-prinsip Yogyakarta ini diawali dari sebuah seminar internasional  yang dihadiri oleh berbagai ahli hukum dari berbagai negara yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 6-9 November 2006. Seminar ini menjelaskan dasar, cakupan, dan pengimplementasian kewajiban HAM Negara terkait dengan isu orientasi seksual dan identitas gender di bawah perjanjian dan Undang-undang HAM.

 

Hadir sebagai pembicara adalah Dede Utomo (aktivis Gaya Nusantara), Damairia Pakpahan (feminist dan aktivis hak perempuan), Neng Dara Affiah (Komisioner Komnas Perempuan), dan Ferina (perwakilan Kepolisian Daerah Yogyakarta).

 

Pelanggaran HAM yang mengarah pada seseorang karena orientasi seksual yang berbeda dengan konsep heteronormativitas masih sering terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain. Orientasi seksual yang berbeda dengan konsep heteronormativitas itu antara lain homoseksual dan biseksual. Menurut Dede Utomo, kekerasan terjadi karena adanya perbedaan kekuasaan. Kelompok yang berkuasa cenderung melakukan kekerasan terhadap kelompok yang tidak punya kuasa.

 

“Kekerasan pada kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transseksual, Interseks, dan Queer) biasanya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, kekerasan fisik. Biasanya berupa penyerangan, pemaksaan, atau perkosaan. Kedua, kekerasan simbolik berupa istilah-istilah ‘menyimpang, tidak normal, sakit, atau tidak beradab/tidak bermoral. Ketiga, kekerasan struktural. Kekerasan ini terjadi karena adanya sistem negara yang tidak memberi perlindungan bagi kelompok LGBTIQ. Misalnya, ada pasangan homoseksual yang ditolak oleh suatu lembaga agama saat hendak mengajukan permohonan untuk menikah. Pelanggaran HAM terhadap kelompok tersebut biasanya kurang mendapat tanggapan baik dari pihak terkait maupun masyarakat umum. Masyarakat cenderung menganggap bahwa mereka layak untuk mendapatkannya,” jelas Dede.

 

Acara ini dihadiri pula oleh aktivis HAM dari berbagai daerah di luar Yogyakarta. Bahkan tampak pula peserta dari negara lain, seperti Filipina dan Thailand. Echa, seorang aktivis HAM dari Banda Aceh mengungkapkan rasa senangnya karena pada akhirnya Yogyakarta Principles diterbitkan. “Dengan adanya Yogyakarta Principles ini diharapkan ke depannya akan ada jaminan hukum bagi kelompok yang selama ini selalu dimarjinalkan apabila mengalami suatu bentuk pelanggaran HAM,” tutur Echa.

 

Sayangnya, meski telah berlangsung selama dua tahun lebih, Prinsip-prinsip Yogyakarta ini kurang diketahui masyarakat luas. “Prinsip-prinsip Yogyakarta ini kurang diketahui masyarakat luas karena kurangnya sosialisasi. Wakil dari Indonesia, yaitu Muhammad Rizky dari Bandung, yang hadir dalam penyusunan Prinsip-prinsip Yogyakarta yang telah diadakan dua tahun yang lalu kurang aktif dalam mensosialisasikannya ke lembaga-lembaga yang peduli dengan isu HAM LGBTIQ dan tidak mendorong ke pemerintah untuk segera merespon. Tetapi terlepas dari hal itu, saya menyambut baik peluncuran Prinsip-prinsip Yogyakarta ini,” kritik Uki, aktivis dari PLU Satu Hati

 

Di lokasi yang tak jauh dari Museum Benteng Vredeberg, tepatnya di perempatan Kantor Pos Besar, Malioboro, berlangsung aksi damai yang diikuti oleh Jaringan Korban Napza Yogyakarta (JKNJ), Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) Yogyakarta, Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) wilayah Yogyakarta, dan PKBI DIY. Dalam aksi damai ini peserta aksi membuat pernyataan sikap berkaitan dengan masih banyaknya kasus penyiksaan dan perlakuan semena-mena aparat negara terhadap tersangka pelanggar hukum maupun mereka yang sudah divonis hukuman oleh pengadilan, termasuk di dalamnya adalah para pengguna napza.

 

Pernyataan sikap tersebut antara lain menuntut pemerintah dan wakil rakyat mengkaji ulang penerapan Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, mendukung pemerintah agar berani membebaskan diri dari tekanan internasional dalam menetapkan kebijakan napza nasional, menuntut penghapusan kriminalisasi dan penetapan pengguna napza sebagai korban, dan menolak keras penyiksaan dan perlakuan semena-mena aparat negara terhadap seluruh warga negara yang berhadapan dengan hukum.

 

Desi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *