Beribadah terhadap Tuhan adalah kebutuhan rohani bagi manusia. Berbeda bagi, waria, mereka kebingungan akan ketentuan dalam beribadah. Meretas jalan kepastian, komunitas waria dan PKBI DIY melakukan diskusi dengan IIS (Interdicipliner Islamic Study) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pekan silam. Dari diskusi ini terungkap. mereka merasa kebingungan ketika hendak shalat apakah mengenakan sarung dan peci atau mukena. Mereka juga masih mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti cibiran atau pandangan aneh ketika melakukan ibadah di masjid. Lalu apa yang mesti mereka lakukan? “Sebagai manusia kami juga mempunyai kebutuhan rohani,” ujar Tata, perwakilan dari komunitas waria.
Shahiron, seorang staff IIS mengatakan, dalam menjalankan ibadah, hal terpenting niat. Di hadapan Tuhan manusia tidak terkotak-kotak dalam suatu kaum. Manusia yang paling mulia, manusia yang paling bertakwa. “Ketika kita akan sholat, semua kembali kepada keyakinan kita. Bila kita mantap mengenakan sarung dan peci, silakan mengenakan busana itu. Tetapi bila kita mantap mengenakan mukena, pakailah mukena,” katanya.
Sebagian besar masyarakat, menurut Shahiron, memang belum bisa menerima kehadiran waria. Masyarakat masih terpaku pada ketentuan literer suatu ajaran, tetapi pesan utamanya malah sering terlupakan. Pesan utama ini perlu dikaji dari segi bahasa dan konteks sejarah. Shahiron, Misalnya ada hadits yang menyatakan bahwa Tuhan melaknat laki-laki menyerupai atau bertingkah laku seperti perempuan. Jika ditinjau dari segi bahasa dan konteks sejarah, hadist itu lahir pada saat keadaan di waktu itu masih sering terjadi peperangan dan laki-laki berkewajiban untuk ikut berperang. Untuk menghindari kewajiban tersebut, sebagian laki-laki berpakaian dan bertingkah laku seperti perempuan agar terhindar dari kewajiban berperang.
Untuk dapat mengubah pandangan mainstream yang sudah terlanjur melekat kuat di masyarakat dibutuhkan perjuangan dan dukungan dari berbagai pihak. Selain itu dituntut pula perjuangan dari komunitas waria itu sendiri. “Saat ini di Yogyakarta sudah berdiri pondok pesantren khusus waria. Pondok pesantren ini bukan menjadi ajang pertobatan bagi waria untuk kembali menjadi laki-laki, namun ini menjadi sarana bagi kami untuk beribadah. Bukan tujuan kami untuk mengeksklusifkan diri tapi pondok pesantren ini merupakan alternatif ketika kami merasa tidak nyaman beribadah di tempat ibadah umum karena pandangan aneh dari masyarakat,” ujar Tata.
Terlepas dari wujudnya sebagai waria, setiap orang berhak untuk beribadah kepada Tuhan. “Kami bersedia membantu teman-teman dalam memperjuangkan hak dalam beragama dan kami sangat mendukung adanya pondok pesantren waria tersebut,” kata Dr. Phil Syairon.
Desi