Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia: Mungkinkah?

Undang-Undang
(UU) No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
telah disahkan pada 3 April 2008 silam. Undang Undang ini menjamin
hak atas informasi sebagai hak asasi manusia. Keterbukaan Informasi
Publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis untuk
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam mewujudkan penyelenggaraan
negara yang baik.

Pada
prakteknya, pelaksanaan UU yang membutuhkan proses 9 tahun sejak
dimasukkannya ke DPR RI, dinilai masih setengah hati. Terlebih
penerapan UU ini baru efektif pada tahun 2010. Alasannya, persiapan
waktu yang mencukupi bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait
dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi
Informasi (Pasal 64 Ayat 1).

Ketidakterbukaan
pemerintah mengenai informasi publik ini tercerminkan dari 5 video
komunitas yang diputar bersamaan pada acara “Pemutaran dan Diskusi
Video Komunitas” Pokja TV Komunitas, di Jogja Nasional Museum
(14/02) lalu. “Ada semacam salah kaprah terhadap Keterbukaan
Informasi Publik ini yang dikaitkan dengan kebebasan pers. Padahal,
hak publik dimaksudkan untuk keterbukaan lembaga publik,” Kata
Budhie Hermanto, ketika menyampaikan gagasannya dalam diskusi ini.

Undang
Undang Keterbukaan Informasi Publik, lanjut Budhie, untuk mendorong
lembaga publik terbuka mengenai anggaran dan program-programnya.
Selama ini, banyak informasi yang tidak diketahui masyarakat meskipun
itu berkaitan dengan kesejahteraan mereka. Contohnya, sekitar 20,1
milyar masuk ke APBD dari retribusi layanan kesehatan di Magelang,
namun tidak ada yang tahu berapa banyak yang kembali ke masyarakat.
“Uang tersebut didapatkan dari Puskesmas-puskesmas yang
rata-rata diakses masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah,”
katanya.

Persoalan
implementasi UU KIP juga dikritisi Muzyadin, dari Ilmu Komuniikasi
UII. Pemerintah dinilai tidak memiliki kesiapan untuk
menindaklanjutinya. Padahal pemerintah harus memiliki komitmen
mengaplikasikannya. Tidak bisa dipandang lemahnya kesadaran
masyarakat akibat ketidakpedulian publik, tetapi justru harus dilihat
sebagai menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap negara. “Posisi
tawar publik di Indonesia cukup tinggi. Komunitas-komunitas, melalui
video misalnya, dapat mengawal komitmen negara,” katanya.

Pemerintah
dinilai melakukan berbagai perilaku kontradiktif. Setelah
mengeluarkan UU KIP, saat ini pemerintah sedang menggodok RUU Rahasia
Negara. Pada 2006, melalui Departemen Pertahanan, pemerintah berusaha
mendahulukan pengesahan UU Rahasia Negara ketimbang UU KIP. RUU
Rahasia Negara bisa dipastikan akan bertentangan pula dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Kearsipan yang sudah mengatur soal
kerahasiaan negara.

Lima
video komunitas yang diputar merupakan karya komunitas-komunitas yang
dilatih Pokja TV Komunitas tahun 2008. Ada 11 video komunitas yang
diproduksi 10 komunitas yang terlibat dalam program ini. Isu yang
diangkat sesuai dengan persoalan yang berkembang di daerah
masing-masing, seperti kelangkaan air bersih di Ngijo, Piyungan,
Bantul (Forum Komunikasi Sitimulyo), akta gratis yang ternyata masih
disusupi pungutan di Muntilan (Rumah Pelangi), program Biaya Khusus
Siswa Miskin yang tidak diketahui beberapa remaja putus sekolah di
Kota Batu, Malang (CNO TV).

Jika
komunitas lain menampilkan realita kehidupan melalui film berformat
dokumenter, Komunitas Kemetiran (Yogyakarta), memproduksi format
drama yang diberi tajuk “Call On”. Film ini mengangkat isu
menghangat di akhir tahun 2008, kelangkaan ARV di Indonesia. “Akhir
filmnya sengaja kami buat ‘menggantung’ untuk mendorong
pemerintah memperjuangkan tersedianya ARV,” kata Desiderius, sang
sutradara.

galink

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *