Perlakuan diskriminatif masih menimpa mitra strategis PKBI DIY di Lempungan. Diberilakukan kebijakan baru, remaja jalanan, waria, gelandangan, dan pengemis dilarang masuk ke stasiun Lempuyangan. Pasalnya, ada teguran dari pemerintah daerah tentang keadaan stasiun Lempuyangan yang tidak tertib dan terkesan kumuh. Padahal akan ada penilaian keindahan dan ketertiban dari pemerintah pusat sehubungan dengan adanya penghargaan Adipura. Demikian antara lain yang berkembang pada saat teman-teman komunitas mengadakan audiensi dengan pihak pengelola stasiun.
Tetapi Pada saat audiensi yang kedua Jumat (6/6), tampanya sulit untuk mempengaruhi kebijakan itu. Karena Yayat, Kepala Stasiun Lempunyan bersikukuh untuk menjalankan kebijakan itu, seperti disampaikan oleh Rully (Ebenezer), Sulis (PKBI DIY), dan Hendro (Up Link) yang menemui Kepala Stasiun Lempuyangan. “Peraturan ini tetap harus kita berlakukan. Selama ini Stasiun Lempuyangan disorot karena keadaannya yang sangat kumuh. Sangat mengganggu keindahan dan ketertiban kota,” kata Yayat.
Jika peraturan itu tidak bisa ditawar lagi, teman-teman komunitas yang selama ini tinggal di stasiun Lempuyangan akan kehilangan tempat berteduh. Fakta ini menunjukkan pemerintahan menutup mata terhadap kaum marjinal dengan mengusir mereka dari tempat yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. “Saya telah menjelaskan kepada Kepala Stasiun, tempat ini menjadi alternatif terakhir bagi teman-teman untuk berteduh setelah mereka tak punya tempat lagi di jalanan karena gencarnya operasi razia Satpol PP. Bila stasiun Lempuyangan tertutup bagi teman-teman, akan ke mana mereka berteduh? Kami tak bisa berharap pada Dinas Sosial yang seharusnya memerhatikan nasib kami, kaum marjinal ini,” ungkap Rully, perwakilan dari organisasi Ebenezer.
Desi